Part 3a

3K 231 7
                                    


"Nin ... bangun woy bangun!" Terdengar teriakan Dion diikuti gedoran pintu, tapi kuabaikan karena mata ini masih enggan untuk terbuka.

"Bangun kebo, lo tidur apa pingsan, sih? Udah jam sembilan nih!" Dia kembali berteriak.

Masak sih udah jam sembilan? Perasaan tidur baru sebentar, monologku dalam hati. Akhirnya dengan berat hati aku membuka mata. Dan cahaya matahari yang menyelinap lewat jendela langsung menyambutku. Kulirik jam di nakas, ternyata benar sudah jam sembilan lewat.

Aku masih enggan untuk beranjak, walaupun Dion masih saja teriak-teriak membangunkanku dari luar.

Setelah mengumpulkan nyawa. Aku bergegas keluar setelah sebelumnya mencuci muka.

Aku melangkah menuju dapur. Dion terlihat sedang makan sesuatu di depan televisi, entah apa yang dia makan.

"Nin, bubur ayam, nih," ucapnya keras.

"Iya, entar gue ke situ. Lo gak usah teriak-teriak kayak di hutan  bisa gak sih?" ketusku sambil menghampirinya.

"Takut lo gak denger," ujarnya cengengesan tanpa menoleh ke arahku.

"Gue gak budek. Tumben amat lo weekend bangun pagi?"

"Gue bangun siang salah, bangun pagi salah juga. Emang gue mah mau ngapa-ngapain salah mulu, Nin."

"Mana bubur gue?" tanyaku tanpa menghiraukan ucapannya.

"Nih." Dion menyodorkan kotak putih yang berisi bubur ayam. "Gak pulang ke rumah, lo?"

"Gak, lagi males. Pulang minggu depan aja," sahutku sambil mengunyah bubur ayam.

Ya, biasanya setiap weekend aku pulang ke rumah Mama berhubung keadaan hatiku lagi kacau, maka aku memutuskan untuk gak pulang. Walaupun sebenarnya aku juga udah kangen sama Mama.

"Lo gak balik?" tanyaku setelah terdiam cukup lama.

"Kenapa? Ngusir?" Dia balik bertanya.

"Syukur deh kalau nyadar," ketusku tanpa melihatnya.

Dion melihatku sekilas. "Lo kenapa sih? Aneh?"

"Gapapa, emang gue kenapa? Cuma empet aja ngelihat lo berseliweran mulu dari kemarin." Aku pura-pura kesal, tapi sebenarnya aku memang kesal, sih. Bayangin, gimana mau lupa sama kejadian  kemarin malam kalau pelakunya berkeliaran di depan mata.

"Ya, bentar lagi gue balik, tapi nanti sore balik ke sini lagi," ujarnya sambil terkekeh.

"Mau ngapain lagi?" kesalku sambil melotot.

"Ada lah pokoknya. Awas kalau lu kabur gue tungguin nyampe lo balik pokoknya," ancamnya.

"Serah lu aja lah. Puyeng gue, yang penting sekarang lo buruan balik gih, gue mau istirahat dengan tenang."

"Jangan mati dulu woy. Dosa lo masih banyak."

Iya, malah kemarin malem habis kamu tambahin dengan dosa yang lebih besar, ucapku dalam hati.

"Dih, doa lo jelek amat."

"Ya udah gue balik kalau ada apa-apa kabarin gue," ucapnya lalu beranjak pergi.

Seandainya kamu tahu, kalau kamulah penyebab kenapa aku jadi kenapa-kenapa, batinku.

Setelah kepergian Dion aku kembali ke kamar mencoba melanjutkan tidurku. Tapi, hasilnya nihil setiap kali mata ini terpejam bayangan malam laknat itu terus terbayang-bayang. Hatiku rasanya seperti tertimpa berton-ton benda berat.

Aku menjambak rambut frustasi. Ingin rasanya berteriak sekencang mungkin. Namun, suara ini seperti tertahan di tenggorokan. Ya Tuhan apa yang harus kulakukan untuk menghapus kejadian kelam itu, agar tak menghantui pikiranku? Seandainya aku bisa memilih ingin rasanya aku amnesia, agar bisa hidup lebih tenang.

ANINDHITA STORY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang