Sudah hampir satu jam aku terisak dibawah kucuran air dari shower sambil terus menggosok dengan kasar kulit tubuhku, aku mencoba menghapus noda yang tak kasat mata. Tapi semakin kasar aku menggosok isakkanku semakin keras dan enggan untuk berenti.Sekarang aku sudah kotor. Hatiku terasa semakin sakit, tak menyangka kejadian ini akan menimpa hidupku. Terlebih dia, orang yang aku cintai yang tega melakukan ini. Meskipun aku mencintainya, tapi tetap saja aku akan terluka saat kesucianku direnggut dengan paksa.
Kilasan peristiwa semalam terus terbayang ditengah isak tangisku.
**
Waktu sudah menunjukkan hampir jam satu dini hari, saat aku selesai mengerjakan laporan yang akan menjadi bahan meeting besok pagi. Baru saja mataku mau terpejam terdengar dering ponselku.
“ Halo,” sapaku setelah melihat nama penelpon setelah meraih ponsel dia atas nakas.
“Nin, lo lagi di apartemen gak?” tanya orang di seberang sana.
“Iya, kenapa?”
“Si Dion mabok parah nih. Gue bawa ke situ ya? Kalau dibawa ke rumahnya kasian, bisa digorok dia ma nyokapnya.”
“Bawa ke rumah lo aja kenapa?” Aku mencoba memberi solusi.
“Lo ngigo ya? Bisa dibunuh gue ma bini gue bawa orang teler ke rumah.”
Aku terdiam sebentar mencoba berpikir.
“Ya udah bawa sini aja gapapa.” Kasian juga pikirku, lagipula aku dan Dion sudah bersahabat sejak kami TK. Dia orang baik, gak mungkin juga kan dia akan berbuat macam-macam.
“Oke, lo jangan tidur dulu setengah jam lagi gue nyampe,” ucap Dika sebelum menutup sambungan teleponnya.
Aku bergegas ke ruang depan menunggu kedatangan Dika. Ya, orang yang menelponku tadi Dika—teman kantor Dion. Pasti dia kerepotan membawa Dion yang sedang teler.
Aku berjengkit kaget saat mendengar suara bel pintu, ternyata tanpa sadar aku tertidur di sofa. Tanpa membuang waktu aku bergegas membuka pintu.
Saat kubuka pintu terlihat Dika kesusahan memapah Dion. Sedangkan yang dipapah hanya meracau tak karuan. Aku membantunya membawa Dion masuk tanpa menghiraukan racauan Dion.
Dika berpamitan setelah menempatkan Dion di sofa ruang tamu. Lagipula sekarang sudah terlalu larut, pasti istrinya sudah menunggu di rumah.
Setelah mengantarkan Dika ke depan, aku kembali masuk ke dalam. Saat aku melewati sofa tempat Dion tertidur tanpa disangka tangannya meraih dan menarik tanganku hingga aku terjerembab di atas tubuhnya.
“Aira maafin aku,” racaunya. Hatiku terasa sakit mendengar ucapannya. Aku tak menyalahkannya karena aku tahu Dion tak mencintaiku, hanya aku yang mencintainya, dan dia tak pernah tau perasaanku.
“Maaf … Aira… maaf.” Dia kembali meracau. Entah mereka sedang ada masalah apa. Aku tak pernah ikut campur dalam hubungan mereka, kecuali saat Dion meminta pendapatku.
Jarak wajah kami yang sangat dekat membuat kami saling bertatapan. Matanya terlihat merah dan sayu.
“Aira … maafin aku.” Ia kembali mengucapkan kata maaf, tapi kali ini sambil mengusap pipiku, sedangkan sebelah tangannya merengkuh tubuhku.
Aku sudah tidak kuat berada di situasi seperti ini. Hatiku rasanya seperti diremas. Aku berniat melepaskan diri dari rengkuhannya, diluar dugaanku dia membalikkan tubuhnya. Sekarang tubuhku terkungkung di bawahnya.
Entah setan apa yang merasukinya. Hingga dia tega berbuat yang tidak sepantasnya dia lakukan terhadapku. Aku sekuat tenaga mencoba untuk menghalangi niat bejatnya. Tapi, sekuat apapun aku mencoba tenagaku tak mampu melawannya. Air mataku mengalir deras menahan rasa sakit di bagian tubuhku, juga rasa sesak di dadaku. Namun, itu tidak membuat dia tersadar dari kegilaannya.
**
Aku kembali menengadahkan wajahku di bawah kucuran air shower. Tangisku sudah mulai reda walaupun rasa sakit di hatiku masih sama bahkan jauh lebih sakit.
Dion masih terlelap saat aku ke luar dari kamar. Aku tak mengabaikannya dan menuju ke dapur. Membuat segelas susu untuk mengisi perut. Walaupun keadaan hatiku sedang kacau, tapi aku harus ke kantor karena hari ini ada meeting yang tak bisa kutinggalkan.
Setelah menghabiskan segelas susu, aku berniat membangunkan Dion. Meskipun aku sakit hati atas perlakuannya, tapi bagaimanapun juga dia sahabatku yang sudah mengisi hari-hariku selama lebih dari lima belas tahun.
“Dion … bangun,” ucapku sambil menggoyangkan tubuhnya.
Dia terlihat mengerjapkan matanya pelan.“Bangun woy…!” Ulangku keras. Ya, sekuat tenaga aku harus berusaha untuk bersikap biasa saja.
Dia terduduk lalu mengucek matanya. “ Kok gue ada di sini? Baju gue?” Ia terlihat bingung saat melihat tubuhnya hanya mengenakan boxer.
“Semalem lo mabok, Dika yang nganter ke sini. Masalah baju…” Aku terdiam sebentar, “semalem lo muntah parah baju lo kotor jadi gue lepas. Tenang udah gue cuci kok,” jelasku.
Aku mencoba menutupi kejadian semalam, walaupun sejujurnya aku hancur karena perbuatannya tapi aku gak ingin membuatnya merasa bersalah. Dan juga gak ingin merusak hubungannya dengan Aira.
Dia menatapku sebentar seperti berpikir, kemudian dia menatapku. “ Makasih ya Anin Sayang. Lo emang sahabat gue yang paling the best. Untung Dika pinter bawa gue ke sini coba kalau gue dianter ke rumah, mungkin sekarang gue tinggal nama,” ujarnya sambil terkekeh.
Iya, aku emang sahabat terbaikmu saking baiknya, bahkan aku tak bisa membencimu saat kamu menghancurkanku, ucapku dalam hati.
“Iya, ya harusnya lo traktir gue makan malam selama seminggu karena udah nyelametin hidup lo,” candaku.
“Jangankan seminggu, sebulan juga gue gak mau,” sahutnya sambil tertawa.
“Dasar pelit,” ujarku pura-pura kesal. Aku tau dia hanya bercanda karena Dion tipe orang yang sangat loyal sama orang-orang terdekatnya. Dia sering aku porotin saat tanggal tua, tapi tak pernah protes. “Betewe, lo ngantor gak?”
“Gak, pusing gue,” jawabnya sambil menatapku. “ Eh, bentar. Lo sakit, Nin? Muka lo pucet banget.”
“Gak, kok. Mungkin gegara semalem gue begadang ngurusin orang mabok jadi pucet,” ejekku.
“Beneran, Nin. Udah lo gak usah ngantor deh, gue khawatir.”
“Gak usah lebay, gue gapapa lagipula nanti ada meeting penting menyangkut masa depan gue,” ujarku terkekeh.
“Harus ngantor banget?” Aku melihat kekhawatiran di wajahnya.
“Iya, Dion. Udah ah gak usah lebay. Gue mau berangkat entar telat. Kalau lo mau sarapan masak mie instan aja atau kalau enggak bikin nasi goreng."
“Iya, yaudah sana berangkat. Hati-hati di jalan, kalau ada apa-apa hubungin gue,” pesannya saat aku akan ke luar.
Air mataku kembali tumpah saat aku keluar dari apartemen. Aku mencoba menyakinkan diri kalau apa yang kulakukan sudah benar. Dion melakukan semuanya dalam keadaan tidak sadar, bahkan semalam dia terus mengucapkan maaf untuk Aira. Terlebih dari sikap yang dia tunjukkan sepertinya dia tidak tahu atas apa yang sebenarnya terjadi.
Alhamdulillah bisa nulis lagi setelah hiatus hampir setengah tahun😊😊
Mudah-mudahan ada yang mau baca syukur-syukur mau komen dan ngasih votenya, hehehe.
Mohon kritik dan sarannya ya teman2😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHITA STORY (TAMAT)
ChickLit[Selesai] Gimana sih rasanya sahabat yang sudah menemani lebih dari setengah umurmu dan yang paling kamu percaya, ternyata tanpa sengaja menghancurkan hidupmu? Sedih? Pasti. Sakit? Jelas. Benci? Harusnya begitu, tapi kalau dia juga adalah laki-laki...