Ruangan kerja masih terlihat sepi saat aku memasukinya. Belum ada satu orang pun yang datang. Kulirik jam dipergelangan tangan, ternyata baru jam setengah delapan, pantas saja masih sepi aku datangnya kepagian.Memang hari ini aku berangkat lebih awal. Mengingat ini hari senin, jalanan pasti macet parah. Lebih baik cari aman daripada harus telat, apalagi agenda hari ini ada meeting jam setengah sembilan.
Aku melangkah menuju sofa yang terletak di pojok ruangan dan menjatuhkan tubuh di sana. Kuelus perutku pelan. Akhir-akhir ini aku memiliki hobbi baru, mengelus perut serta mengajak calon anakku berkomunikasi. Entah kenapa setiap melakukan ini aku merasa nyaman dan membuat moodku menjadi baik.
Kadang aku berpikir kenapa waktu berjalan begitu cepat. Sedangkan, aku belum punya nyali untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya.
Meskipun usia kehamilanku sudah tiga bulan, tapi perubahan tubuhku belum begitu terlihat. Hingga belum ada yang curiga akan kehamilan ini, apalagi selama ini aku selalu memakai baju yang sedikit longgar. Memang sejak dulu aku tidak begitu suka pakaian yang pas badan apalagi saat pergi ke kantor.Aku bersyukur sekarang sudah tak mengalami morning sickness lagi. Sejak usianya memasuki sembilan minggu dia sudah tak begitu rewel, apalagi kalau sedang di dekat Dion, anak di dalam perutku tak bertingkah. Seakan-akan dia tau kalau ayahnya sedang berada di dekatnya.
“Pagii… bumil. Pagii… keponakan aunty. Keponakan aunty jangan rewel ya, jangan bikin bundamu repot.” Lamunanku buyar saat mendengar sapaan Kinan.
“Pagi Aunty, aku gak rewel dong, kan anak pinter. Aunty ngomongnya jangan kenceng-kenceng dong. Entar kalau ada yang denger gimana,” sahutku menirukan suara anak kecil.
Kinan terkekeh dengan tampang tanpa dosa. Sambil mengeluarkan satu cup kopi dari kantong plastik yang dibawanya. “Mau kopi gak?” tawarnya saat membuka tutup cup itu. “Tenang, belum pada dateng kok. Betewe, tumben lo masih pagi udah nongkrong di kantor?” lanjutnya sambil meniup kopi yang masih beruap itu.
Aku menyandarkan tubuh malas. “ Gak, makasih. Males kena macet gue, kalau lo? Gak biasanya juga berangkat pagi.”
“Sama. Mungkin kita satu hati,” sahutnya sambil terkekeh. “Betewe lo udah ngasih tau Tante belum tentang keadaan lo?”
“Belum. Gue niatnya mau bilang ke Dion dulu baru deh ngomong ke Nyokap.”
“Terus kapan rencananya lo bilang ke Dionnya?”
“Entar nunggu timing yang tepat dulu,” sahutku santai.
Kinan menggelengkan kepala pelan. “Timing tepat itu dicari Anin Sayang. Sampai kapan lo mau diem kalau perut lo semakin hari pasti akan semakin besar. Bukannya gue mau terlalu ikut campur urusan lo, tapi seperti yang pernah gue bilang. Gue gak pengen sahabat gua jadi bahan gunjingan. Gue berharap mudah-mudahan lo cepet nemuin timing yang tepat itu,” ujarnya santai kemudian menyesap kopi yang tadi dibawanya.
Aku mengangguk pelan. Benar apa yang diucapkan Kinan, mungkin sudah waktunya aku jujur pada Dion.
“Betewe, hubungan lo sama Mas Bagas gimana?” Kinan mengalihkan pembicaraan, mungkin karena aku terdiam cukup lama setelah obrolan tentang kehamilanku.
Aku mengendikkan pundak. “Ya, biasa aja, sih. Masih komunikasi, cuma sekarang gue udah jaga jarak.”
Kinan hanya manggut-manggut kemudian berjalan memasuki kubikelnya.
Sesaat setelah Kinan pergi, terdengar suara rusuh dari luar. Aku tebak pasti itu suara penghuni ruangan ini yang sudah pada datang. Dan ternyata dugaanku benar.
“Wuuuiih, tumben princes kita pagi-pagi udah pada nongkrong di kantor, biasa kalau hari senin mereka datengnya yang paling belakangan,” ledek Mas Anton saat memasuki ruangan.
Ya, orang-orang di ruangan ini menyebut aku dan Kinan princes karena hanya kami berdua yang berjenis kelamin perempuan di divisi keuangan ini.
“Emang serba salah ya. Dateng siang salah, udah dateng pagi masih aja salah,” rungut Kinan sambil menatap Mas Anton sebal.Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, kemudian menuju kubikelku untuk memulai pekerjaanku. Ruangan pun menjadi hening saat semua orang sudah memulai memasuki kubikelnya masing-masing, tapi itu tak berlangsung lama, karena kedatangan Bang Gilang—kepala divisi yang tiba-tiba kembali keluar dari ruangangannya.
“Gaees… mohon waktunya sebentar,” ujar Bang Gilang untuk menarik perhatian dari penghuni ruangan ini. “Hari Sabtu gue tunangan kalian semua harus datang ya.” Lanjut laki-laki berusia tiga puluh tahun itu dengan senyum sumringah.
“Akhirnya Abang kita kawin gaees,” teriak Fanno—salah satu mahasiswa magang itu heboh. Walaupun dia masing magang, tapi hubungan kami semua dekat, karena memang tak pernah membeda-bedakan.
“Tunangan kali maen kawin-kawin aja,” sahut Kinan sewot. Kinan sama Fanno itu seperti Tom end Jerry. Selalu ribut, mungkin karena mereka masih sepupuan, tapi walaupun begitu aku bisa melihat mereka saling menyayangi. Buktinya Kinan yang merekomendasikan Fanno agar bisa magang di sini.
“Kalau udah tunangan entar kan nikah. Emangnya lo pacaran mulu dilamar kagak, hahaha.” Fanno tertawa puas saat melihat tampang kakak sepupunya itu kesal. Membuat penghuni ruangan ini pun menyembur tawa bebas.
“Kinan kalau pagi emang suka radhak-radhak begok.” Kali ini Mas Anton yang mengeluarkan ledekkannya sambil terkekeh. “Kayaknya bakal banyak ciwi-ciwi yang patah hati ini. Laki-laki impiannya yang sering terlihat sendirian tau-tau tunangan, hahaha.”
Ya, memang Bang Gilang itu sosok laki-laki impian. Dia ganteng, karir bagus, orangnya baik. Seperti sekarang dia tak segan-segan berbaur dengan bawahannya. Dia itu humble, sikapnya santai tidak bossy, tak jarang kami bercanda bersama saling ledek, tapi saat membicarakan pekerjaan dia tetap akan menjadi pemimpin yang tegas dan tak segan-segan menegur kesalahan bawahannya. Jadi, jangan heran kalau dia sering menjadi bahan perbincangan para ukty di kantor ini.
Bang Gilang hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah anak buahnya.
“Betewe, buat waktu dan lokasi tepatnya entar gue share di grup ya.”
“Siap, Bang,” sahut kami serentak. Setelah itu Bang Gilang kembali ke ruangannya.
Setelah mendengar kabar yang cukup membuat kaget dan juga senang. Kami kembali mulai sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk karena ditinggal weekend.
See you on next part🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHITA STORY (TAMAT)
ChickLit[Selesai] Gimana sih rasanya sahabat yang sudah menemani lebih dari setengah umurmu dan yang paling kamu percaya, ternyata tanpa sengaja menghancurkan hidupmu? Sedih? Pasti. Sakit? Jelas. Benci? Harusnya begitu, tapi kalau dia juga adalah laki-laki...