Part 15

2.8K 183 25
                                    

Sudah hampir lima belas menit aku di depan wastafel memuntahkan isi perut, karena rasa mual yang luar biasa. Tapi, sejak tadi hanya cairan yang keluar dari mulut, hingga tenggorokan ini terasa sangat pahit.

Aku mengelus perutku pelan. "Jangan rewel dong, Sayang. Apa kamu gak kasian sama bunda,” ujarku lirih berharap bayi di dalam perutku bisa mengerti.

Kulirik jam di dinding masih jam lima pagi. Rasa mual ini sedikit berkurang. Aku membalikkan badan berniat akan kembali ke kamar, tapi rasa mual ini kembali menyerang.

Saat aku memuntahkan isi perut tiba-tiba ada yang memijit tengkukku pelan. Bulu kudukku sempat meremang sebelum aku mendengar sebuah suara yang membuatku kaget.

“Lo sakit, Nin?” Aku baru menyadari kalau semalam Dion menginap di sini.

“Gak, Cuma sedikit mual. Mungkin karena semalem telat makan,” sahutku pelan sambil menahan rasa mual yang masih menderaku.

Dion mengelus pelan perutku dari luar baju. Entah kenapa aku merasa nyaman dan rasa mual itu berkurang. Apa mungkin anakku tahu kalau yang mengelus dia adalah ayahnya. Ah, entahlah aku tak peduli yang penting mualku reda, sehingga aku bisa kembali tidur mengingat ini masih terlalu pagi lagipula tadi sudah melakukan kewajibanku sebagai seorang muslim.

“Gimana? Udah mendingan belum?” tanyanya saat aku sudah tak muntah lagi.

“Lumayan lah. Thank’s ya. Lain kali jangan ngagetin, tadi gue udah merinding pas lo tiba-tiba mijit tengkuk gue,” kekehku kemudian aku berjalan menuju meja makan mengambil minum karena tenggorokan ini terasa sangat sakit dan juga pahit.

“Gue bikinin teh, ya?” tawar Dion setelah berada di dekatku.

“Gak usah, gue mau tidur lagi aja. Biar entar udah enakkan. Lagian ini masih pagi banget.”

“Ya udah kalau gitu tidur lagi sana. Kalau butuh apa-apa panggil gue aja,” pesan Dion dengan memamerkan senyum manisnya. Ya Allah kenapa dia tetap saja ganteng saat masih acak-acakan baru bangun tidur.

“Oke, gue tidur. Lo juga tidur lagi aja, sorry ya udah ganggu tidur lo,” pamitku sebelum aku kembali masuk ke dalam kamar.

Setelah sampai kamar aku membaringkan tubuh kemudian mengelus perutku pelan. “Kamu seneng ya, Nak. Dielus sama Ayah, maafin bunda ya, Sayang. Bunda belum berani mengatakan yang sejujurnya sama Ayah kamu. Kamu jangan rewel ya tolong ngertiin keadaan bunda.”

Ya, akhir-akhir ini di saat sendiri aku sering mengajak anak dalam perutku berbicara, walaupun tidak pernah mendapatkan jawaban, tapi entah mengapa ada rasa bahagia saat aku mengajaknya berbicara. Sedikit-sedikit aku mulai menyayanginya, bagaimanapun juga aku ibunya. Siapa lagi yang akan menyayanginya kalau bukan aku.

**

Dion baru saja masuk  membawa kantong plastik saat aku keluar kamar. Laki-laki itu sudah rapi dengan setelan kemejanya. Pantas saja tadi saat aku membuat susu dia tidak ada, ternyata sedang keluar.

Ia melangkah menuju meja makan. “Sarapan dulu, Nin. Tadi gue ke bawah beli bubur ayam. Lo yakin mau ngantor?” Dia menatapku sepertinya sedang khawatir.

“Iya, kenapa emang?”

“Muka lo pucet. Bolos kerja aja deh, gue anter ke dokter.”

“Gue gapapa deh. Udah santai aja, entar kalau udah makan juga gak pucet. Lagian gila aja gue minggu kemaren udah habis bolos mau bolos lagi aja,” kekehku pelan. Sambil memasukkan bubur ke mulut.

Dion hanya mendengus pelan. “Dasar keras kepala, gue khawatir, Anin. Entar kalau lo kenapa-kenapa gimana?”

“Doa lo jelek,” sahutku cuek. Padahal hatiku menghangat melihat kekhawatirannya.

“Ya udah, terserah. Tapi entar pulang kerja gue jemput, kalau lo masih pucet kita ke dokter.” Akhirnya dia mengalah, walaupun dengan sedikit mengancam.

Ya Allah bagaimana aku bisa move on kalau sikap dia sepeduli ini. Mungkin baginya ini hal wajar mengkhawatirkan sahabatnya. Hanya aku yang terlalu baper menanggapinya. Sayang, bunda harus gimana?

**

“Nin, udah jam makan siang nih. Keluar yuk?” ajak Kinan saat aku masih sibuk dengan pekerjaanku.

Kulihat jam di pergelangan tangan memang sudah menunjukkan waktu makan siang. Kenapa hari ini waktu terasa sangat cepat apa karena kerjaan yang menumpuk ini.

“Duluan, deh. Entar gue nyusul, nanggung nih dikit lagi,” sahutku tanpa melihatnya karena mataku masih fokus dengan layar persegi di depanku.

“Pesenin sekalian gak? Lo mau apa biar entar tinggal makan.”

“Samain aja.”

Sesaat setelah ucapanku selesai aku mendengar langkah Kinan menjauh.

Tidak butuh waktu lama setelah lima belas menit pekerjaanku selesai, aku bergegas menyusul Kinan sebelum dia mencak-mencak karena terlalu lama menunggu.

Setelah sampai di kantin kulihat Kinan duduk di dekat  jendela dengan dua piring ayam geprek serta dua gelas es teh manis. Tanpa membuang waktu aku menghampirinya karena cacing-cacing di perut juga sudah mulai demo minta diisi.

“Ngagetin aja lo,” tegur Kinan saat aku duduk di depannya. Memang tadi dia terlihat sibuk memainkan ponsel. Bahkan nasi di depannya terlihat belum tersentuh.

“Segitunya mainan hape, nyampe ada orang dateng juga gak tau. Emang lagi chat ma siapa, sih?” godaku.

“Biasa ayang beb ngajakin ketemu,” kekehnya dengan tampang sombongnya itu.
“Eh, kalau gak salah lihat tadi pagi lo dianter Dion, kan?”

“Hu’um,” sahutku seraya memasukkan potongan ayam ke dalam mulut.

“Terus?”

“Terus? Maksud lo?”

“Lo udah ngomong belum ke dia?”

“Belum. Gue masih mengumpulkan keberanian. Eh, tapi gue mau cerita, tadi pagi gue mual parah tuh. Terus waktu perut gue dielus ma dia masak mualnya langsung ilang.”

“Itu artinya anak lo seneng sama perlakuan ayahnya. Saran gue cepet deh lo ngomong ke dia,” ujar Kinan sambil menguyah makanan di dalam mulutnya.

“Masak, sih?”

“Dih, gak percaya. Dibilangin juga.”

“Gak lah. Percaya ma lo mah musyrik, hehehe.”

Kinan tersedak minumannya. “Sialan, lo. Eh, tapi bener juga sih, hahaha.”

Apa benar yang dibilang Kinan. Aku jadi semakin takut untuk berbicara yang sebenarnya. Bukan apa-apa takutnya saat Dion menegetahui semuanya dan menolak kehadirannya. Pasti anak ini tidak akan pernah mendapatkan perlakuan manis dari ayahnya lagi. Oh, Tuhan apa yang harus kulakukan?

“Malah melamun,” teguran Kinan mengagetkanku. “Nin gue duluan ya. Mau nyiapin bahan meeting biar entar gak telat.”

“Iya, duluan aja gapapa.” Setelah kepergian Kinan, aku kembali memikirkan omongannya dan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi kalau seandainya aku berbicara jujur pada Dion.

Ah, entahlah aku pusing sendiri memikirkan masalah ini. Daripada berpikir tentang masalah ini terus, lebih baik aku fokus sama kehamilanku. Aku tidak ingin anakku ikut stres kalau aku terlalu memikirkan masalah ayahnya.

Thank's buat  kalian yang udah mampir. Lophe you❤🙏🙏

ANINDHITA STORY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang