Tubuh ini luruh ke lantai bersamaan dengan air mata yang tak bisa kubendung lagi. Perasaan khawatir yang beberapa menit tadi menghantui sekarang sudah menjelma menjadi rasa takut yang teramat sangat. Aku kembali melihat benda kecil yang sedang kupegang, dan hasilnya masih sama. Garis dua itu terlihat sangat jelas. Dada ini terasa sangat sesak, rasanya seperti tidak ada udara di sekitarku.“Takdir macam apa ini Tuhan,” rintihku disela isak tangis yang enggan berhenti. “Apa yang harus kulakukan? Maafin Anin, Ma. Anin ngecewain Mama.”
Aku tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Mama nanti saat mengetahui anak yang dibanggakannya hamil di luar nikah.
Aku menjambak rambut kasar. Rasanya ini seperti mimpi buruk. Tak tahu apa yang akan kulakukan, apa akan memberitahu Dion? Aku tidak punya keberanian untuk itu, takut dia akan menolak anak ini, itu akan sangat menyakitkan. Atau menggugurkannya saja? Aku menggelengkan kepala. Ibu macam apa yang tega membunuh darah dagingnya, bahkan binatang saja sayang sama anak-anaknya. Aku sudah berdosa dan tak ingin menambah dosa dengan menjadi seorang pembunuh.
“Aaaaa...!” teriakku frustasi. Mungkin aku mulai gila dengan keadaan ini.
Apa yang harus kulalukan Tuhan? Kenapa takdir senang sekali bercanda denganku. Kuraih shower dan menyalakannya. Aku terus terisak di bawah guyuran air yang membasahi tubuh.
**
Aku membuka mata saat kepala terasa pusing. Entah berapa lama aku tertidur, tadi pagi setelah menelpon Kinan untuk memberitahu kalau tidak masuk kerja, kulanjutkan tangisku di kamar hingga tertidur.Kuraih ponsel di nakas, ternyata sudah jam lima sore. Pantas saja aku pusing selain karena terlalu banyak menangis mungkin karena terlalu lama tidur.
Aku menunduk, kuelus perutku pelan. “Kamu yang kuat ya? Bantu bunda, kita akan berjuang sama-sama. Tolong bantu kuatkan bunda,” ujarku lirih. Tanpa terasa pipiku kembali basah.
Ya,setelah merenung dan berpikir aku memutuskan akan menerima bayi ini. Bagaimana pun juga dia darah dagingku. Amanah yang Tuhan titipkan kepadaku. Meskipun dia hadir karena kesalahan dan di waktu yang tidak tepat. Dia tidak berdosa dan berhak untuk hidup. Aku berjanji akan menjaga dan membesarkannya dengan ataupun tanpa ayahnya.
Aku tersenyum miris saat menyadari sekarang sudah tidak sendiri lagi, ada nyawa lain yang harus kujaga dengan sepenuh hati. Saat sedang melamun, aku dikagetkan oleh suara bell pintu. Kalau dilihat dari suaranya pasti orang yang sedang di luar sana sudah tak sabar menunggu pintu terbuka.
“Anin, lo sakit apa? Ya Allah muka lo pucet banget, mata bengkak, rambut awut-awutan. Lo kenapa, Nin?” Kinan memberondongku dengan pertanyaan saat aku membuka pintu.
“Masuk dulu, nanti gue cerita,” sahutku pelan. Aku sudah memutuskan akan bercerita kepada Kinan. Bagaimanapun juga dia sahabatku dan aku butuh teman bercerita untuk masalah yang sedang kuhadapi.
“Oke. Lo udah ke dokter belum? Nih gue bawain makan, selesai makan lo harus cerita semuanya.
“Belum,” sahutku sambil bergegas ke dapur untuk mengambil piring, sedangkan Kinan sibuk mengeluarkan makanan yang dia bawa dari kantong plastik.
“Tumben jam segini udah balik, padahal besok weekend?”
“Perasaan gue gak enak aja. Takut lo kenapa-kenapa. Soalnya kemaren masih segar bugar terus tiba-tiba bilang sakit dengan suara seperti nahan nangis,” jawab kinan di sela kunyahannya.
“Ih, so sweet banget sih sahabat gue. Segitu khawatirnya lo sama gue,” candaku sambil memeluk tubuhnya.
“Ih, jijik lah sok imut,” sewot Kinan, padahal aku tahu mungkin di dalam hati dia sedang tersenyum karena aku sudah bisa tertawa. Aku sadar sejak tadi beberapa kali dia melirik mengamatiku mungkin karena semenjak kedatangannya aku lebih banyak diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHITA STORY (TAMAT)
ChickLit[Selesai] Gimana sih rasanya sahabat yang sudah menemani lebih dari setengah umurmu dan yang paling kamu percaya, ternyata tanpa sengaja menghancurkan hidupmu? Sedih? Pasti. Sakit? Jelas. Benci? Harusnya begitu, tapi kalau dia juga adalah laki-laki...