Part 7

2.6K 196 5
                                    

Semenjak kejadian malam itu aku belum berani mengendarai mobil sendiri. Jujur aja, bayang-bayang peristiwa itu masih sering mengahantui. Aku takut kalau nekat nyetir akan membahayakan diriku juga pengendara lain.

Seperti hari ini setelah keluar dari lift aku duduk di lobi. Untuk memesan ojek online, tapi sudah lebih dari limat menit belum juga mendapatkan driver.

Ketika sedang sibuk mengotak atik ponsel. Aku merasa ada orang yang duduk di sebelahku, ternyata Mas Bagas. Dia tersenyum ketika tatapan kami bertemu.

“Belum pulang?” tanyanya ramah. Dia masih sama seperti yang kukenal dulu.

“Belum, lagi pesen ojek online, tapi susah dari tadi gak dapet-dapet,” sahutku sambil terkekeh.

“Bareng aku aja. Kalau jam pulang gini susah nyari driver,” ajaknya.

“Gak usah, Mas. Takut ngrepotin,” tolakku sopan.

“Gak lah kan aku juga mau pulang. Udah ayo aku anter, lagian juga pengen ngobrol-ngobrol ma kamu. Kan udah lama banget gak ketemu.”

“Beneran gak ngrepotin?”

“Gak. Ya udah tunggu sini ya, aku ambil mobil dulu,” pamitnya lalu bergegas pergi.

Tak berapa lama ada mobil pajero hitam berhenti di depan lobi, ternyata itu mobil Mas Bagas. Aku bergegas menghampirinya, gak enak juga kalau membuatnya menunggu.

Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, karena suasana akward masih mendominasi. Gimana sih kalau kita bertemu dengan orang yang dulu pernah dekat dan setelah lama tak ada kabar tiba-tiba dipertemukan kembali. Ya begitu perasaan yang saat ini kurasakan.

“Kamu udah lama kerja di sana?” tanya Mas Bagas setelah sekian lama mobil dicekam keheningan.

“Dua tahunanlah mau jalan tiga tahun? Kalau Mas, kok bisa kerja di sini. Baru gabung apa dimutasi dari kantor cabang?” Aku balik bertanya.

“Dimutasi, tadinya di kantor cabang yang di Bandung terus di promosiin ke kantor pusat. Gak nyangka bakal ketemu sama kamu di sini,” ucapnya sambil tertawa ringan.

“Jadi selama ini Mas tinggal di Bandung?”

“Iya, selesai skripsi langsung balik ke bandung. Waktu  itu Ayah penyakitnya sering kambuh jadi aku stay di sana. Kasian juga sama Bunda kalau harus ngurus Ayah masih ngurus rumah apalagi waktu itu si Dinda lagi sibuk persiapan ujian lulus sekolah,” jelasnya dengan pandangan menerawang.

Aku mengangguk mengerti. “Tapi sekarang ayahnya udah sembuh, kan?”

“Ayah udah gak ada dua tahun yang lalu,” sahutnya pelan.

“Maaf Mas, maaf. Aku gak bermaksud buat Mas sedih.” Aku benar-benar menyesal bertanya seperti itu. Karena aku tau betapa beratnya saat kita kehilangan sosok seorang Ayah untuk selamanya. Bahkan walaupun Papa sudah meninggalkanku hampir empat tahun, tapi saat mengingatnya rasa sedih itu tetap ada.

“Gapapa santai aja, mungkin itu memang jalannya. Sekarang beliau sudah bahagia di sana, gak merasakan sakit lagi,” sahutnya sambil tersenyum lembut.

Kemudian kami sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik Mas Bagas. Dia terlihat fokus menatap jalanan di depan sana.

Setelah hampir setengah jam perjalanan akhirnya sampai juga, mobil Mas Bagas berhenti di basement apartemenku.

“Makasih, Mas. Gak mau mampir dulu?” tawarku basa basi. Sebelum keluar dari mobilnya.

“Gak, kapan-kapan aja,” sahutnya ramah.

“Ya udah, kalau gitu hati-hati di jalan ya mas,” pesanku.

“Iya,” sahutnya sambil tersenyum.

Kemudian aku keluar dari mobilnya.Setelah mobilnya meninggalkan basement akupun menuju lift untuk mengantarkanku ke unit tempat tinggalku.

7 Juli 2020

ANINDHITA STORY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang