Part 4

2.7K 229 13
                                    

Aku mengembuskan napas pelan. “Akhirnya kelar juga,” ucapku pelan.

Kulirik jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul lima sore. Sebenarnya jam pulang kantor di tempatku bekerja pukul empat, tapi berhubung ada pekerjaan yang harus diselesaikan jadi molor satu jam dari yang seharusnya.

Aku mengedarkan pandangan masih ada beberapa rekan yang sibuk di balik kubikelnya. Tanpa membuang waktu kubereskan berkas-berkas yang masih berantakan di meja. Kemudian  aku keluar dari kubikel saat kurasa meja kerjaku sudah rapi.

“Mas, gue duluan ya,” pamitku pada Mas Anton—salah satu senior yang letak kubikelnya berdekatan denganku.

“Ya, hati-hati,” sahutnya tanpa melihatku.

“Wokey, Bos. Lembur jangan nyampe malem-malem, kasian tuh bini nunggu di rumah.” Mas Anton hanya tertawa menanggapi candaanku.

“Hati-hati, Mas. Entar ditemenin Mbak yang pake baju putih lho,” godaku saat aku melewati kubikelnya.

“Gapapa, entar gue ajakin ngopi malahan,” sahutnya santai.

“Awas didatengin beneran,” ucapku terkekeh. Kemudian aku keluar meninggalkan ruangan.

Setelah sampai lobi aku dibuat terkejut karena Dion sudah duduk manis di sana. Mau ngapain itu orang? Ah, mungkin mau ketemu temennya, monologku dalam hati.

Dion melangkah mendekat saat ia melihatku.

“Hai, lagi ngapain lo di sini?” tanyaku saat dia sudah ada di hadapanku.

“Mau ketemu sama sahabat gue yang paling nyebelin,” sahutnya kesal.

Aku males menanggapinya. Memang sih sudah hampir seminggu aku mengabaikannya. Semua pesan dan panggilan darinya kuabaikan begitu saja.

Aku tak berniat menjauhinya, tapi hanya ingin sedikit melupakan kejadian laknat malam itu. Kalau dia terus ada di dekatku hanya akan membuatku semakin tersiksa.

“Lo, ke mana aja, sih. Seminggu gak bisa dihubungi?”

“Gue sibuk, tau sendiri kalau akhir bulan kerjaan gue numpuk.”

“Gue kirain masih sakit, tapi tiap gue ke apartemen gak pernah dibukain pintu.”

“Gue lembur terus, Dion,” ucapku untuk menutupi kebohongan.

“Yaudah kalau gitu. Jalan, yuk,” ajaknya sambil menarik sebelah tanganku.

“Ke mana? Gue capek.”

“Udah ngikut aja. Entar gue traktir makan,” ucapnya cengengesan.

“Males gue entar jadi kambing congek lagi, kalau lo ketemu ma Aira.”

“Gak, beneran deh,” ujarnya meyakinkanku.

Akupun mengikuti langkahnya memasuki mobil. Ya, aku selemah itu kalau sudah berhadapan dengan manusia bernama Dion Narendratama.

**

Di sepanjang jalan aku lebih banyak diam sesekali menjawab pertanyaan Dion. Aku bersyukur jalanan sore ini cukup lancar sehingga aku tak harus berlama-lama di dalam mobil dengan Dion. Bukan karena tak suka, tapi entahlah setiap ingat perbuatan dia hatiku terasa sangat sakit.

Setelah hampir setengah jam di jalan, Dion membelokkan mobilnya ke sebuah mall yang cukup besar di bilangan Jakarta barat.

“Kok ke mall, sih?” tanyaku kesal.

“Emang kenapa?” Dia balik bertanya.

Aku menggaruk kepalaku pelan. “Gapapa Cuma gue lagi males aja di tempat rame.”

“Bentar doang. Besok Aira ulang tahun gue pengen beliin dia hadiah,” ucapnya santai.

Ingin rasanya aku mengumpat, demi apa capek-capek aku mau dia ajak jalan. Ujung-ujungnya Aira lagi Aira Lagi. Pantes aja tadi yakin gak akan ketemu Aira, ternyata mau beli hadiah buat dia. Aku merasa jadi cewek paling bodoh di dunia ini.

Dion mengabaikan kekesalanku dan menyeretku masuk. Bener-bener ngeselin sumpah ini orang satu, umpatku dalam hati.

Makasih gaess yang udah mau mampir di cerita gaje ini. I lophe you all😘😘🙏

ANINDHITA STORY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang