L I M A

36.8K 4.5K 340
                                    

Arsenio keluar dari kamar menggunakan hoodie dan celana hitam dan dibuat kaget melihat Aksa yang sudah berdiri di depannya. Sudah dua kali dalam satu malam ia dibuat kaget oleh orang rumah ini dengan muncul di depan kamarnya seperti ini.

Untung jantungnya buatan Tuhan bukan buatan manusia.

Dengan wajah datarnya, ia menyilangkan tangan di depan dada menunggu sang empu di depan pintu berbicara.

Aksa yang mengerti adiknya menunggunya, berdehem sebentar, "Abang minta maaf dek,"

Satu alis Arsenio mendengar permintaan maaf Aksa, "Permintaan maaf mana yang lo maksud? Lo sama kembaran lo itu terlalu banyak kesalahan yang mungkin gampang buat dimaafin tapi susah buat di lupain."

Bukannya memang begitu, gampang meminta maaf namun terlalu sakit untuk melupakan apa yang mereka torehkan, ia saja kesal dan sakit hati apalagi Nio yang terlibat langsung.

Dan juga, mereka sudah terlambat meminta maaf karena Nio sudah tidak ada.

Setelah mengatakan itu Arsenio melangkah maju dengan sengaja ia menabrak bahu Aksa.

Aksa diam mendengar perkataan Arsenio, tangannya mengepal, seharusnya tadi ia tak minta maaf setelah melihat reaksi adiknya, ia hanya menurunkan harga dirinya dengan sia-sia mendengar perkataan Arsenio. Ia menutup hatinya bahwa ia memang benar-benar bersalah

"Seharusnya gue gak minta maaf tadi." Lirih Aksa sambil berlalu menuju kamarnya.

Mendengar perkataan Aksa, Arsenio berhenti berjalan namun setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

***

"Bangsat emang punya abang! Gue udah sadar kalo dia minta maafnya gak tulus, untung gak gue maafin." ucap Arsenio sambil berjalan menuju gerbang.

"Aden mau kemana?" Tanya pak satpam membuat Arsenio menoleh.

"Mau beli makan, pak. Ada motor gak ya?" Tanya Arsenio dengan sopan membuat pak satpam itu menatapnya dengan pandangan tak percaya lagi.

"Ada den, tapi punyanya tuan kembar."

Mendengar perkataan Pak Sapto nama yang ia yakini karena tertulis di dada sebelah kanan membuat Arsenio mendengus mana sudi ia minta izin meminjam motor, matanya melirik ke arah sepeda gunung yang terparkir rapi di sebelah pos satpam.

Ia berjalan mendekat ke arah sepada itu diikuti oleh Pak Sapto.

"Sepeda siapa ini pak?" Tanya Arsenio sambil memegang stang sepeda, ia menatap Pak Sapto penasaran.

"Sepeda saya den." Jawab pak Sapto membuat Arsenio tersenyum lebar.

"Pinjem ya pak," pinta Arsenio sambil mencoba menaiki sepeda itu.

Pak Sapto yang mendengar itu tersentak kaget, sejak kapan tuan mudanya yang manja itu bisa menaiki sepeda setiap hari saja ia selalu diantar jemput mobil mewah.

"Tapi den." ucap pak Sapto itu ragu.

Mendengar perkataan pak Sapto yang meragukannya, "Tenang pak, Nio bisa naik sepeda kok. Entar Nio balikin seperti semula."

"Baik den." ucap Pak Sapto meski masih ragu, ia bukannya tak memperbolehkan namun ia ragu jika terjadi sesuatu dengan tuan mudanya itu, nyawa dan pekerjaannya menjadi taruhannya.

Arsenio mengambil dompet di saku celananya lalu mengambil beberapa lembar uang. Sekarang ia sudah kaya, dompetnya pun tebal. Ia menyodorkan uang itu pada pak Satpam, "Ini sebagai jaminan Pak, kalo semisal sepeda Bapak kenapa-kenapa."

Pak Sapto bergegas menolak, "Gak usah den."

"Gakpapa Pak, buat beli rokok atau kopi." ucap Arsenio sambil memaksa pak Sapto menerima uang itu.

ARSENIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang