Angin menyapa wajah Arsenio membuat rambutnya bergerak disapu angin, dengan kedua tangan di belakang menyangga tubuhnya Arsenio menikmati siangnya di atap sendirian. Arsenio duduk sendirian di rooftop sekolahnya, membolos adalah hal yang sering dia lakukan akhir-akhir ini.
Seminggu telah berlalu dari kejadian 'naas' yang menimpa Cello dan selama seminggu itu juga Arsenio dijauhi oleh semua orang di sekolahnya. Pujian-pujian mengenai kemenangan lomba cerdas cermat mulai tertutup dengan banyak gunjingan yang tak mengenakkan selalu dia dengar setiap harinya dari seluruh murid di sekolahnya. Terlebih pihak sekolah yang memilih diam tanpa ada tindakan mengenai pembullyan itu, selama mereka tak bertindak lebih pihak sekolah memilih diam.
Arsenio masa bodoh, dia hanya diam menganggap angin lalu dan menutup rapat-rapat mulutnya karena malas menjelaskan kepada orang-orang yang belum tentu setelah mendengar penjelasannya mereka langsung percaya.
Selama mereka tak menyentuh dan melukainya, dia tak masalah. Jika dia tak salah, dia bisa santai mentalnya sudah kebal mendengar bully verbal mereka.
Arsenio akan mencoba menikmati semua gunjingan yang dilayangkan padanya, dia akan melihat bagaimana ekspresi Cello yang merasa menang melawan dirinya. Dia merasa sangat terhibur melihat bagaimana Cello yang merasa puas melihat dirinya dijauhi orang-orang, Cello pikir dirinya akan menderita dengan semua yang telah Cello lakukan?
Ayolah, Arsenio tidak selemah itu. Arsenio tumbuh dengan luka, dari kecil tinggal di panti asuhan dengan anak-anak panti yang tak suka padanya karena mengganggap dia lebih disayang oleh bunda panti, cacian dan bullyan semasa kecil karena tidak punya orang tua, rela hujan-hujanan menjadi ojek payung demi mendapat uang. Berkelahi dengan preman pasar karena ingin mengambil uang hasil kerja kerasnya. Semua telah Arsenio rasakan di kehidupan sebelumnya, ini belum seberapa.
Kemarin, Arsenio hanya merasa sedih bagaimana rasanya Nio yang punya keluarga tapi berasa tak punya dan dibodohi oleh Cello hingga keluarganya sendiri tak percaya padanya. Arsenio yang tumbuh di panti buta akan rasanya punya keluarga, dia tak bisa membayangkan orang yang sedarah dengannya, orang yang begitu kita sayangi lebih memilih orang lain daripada anaknya sendiri.
"Nio, gue pastiin Cello dapet karmanya! Ini janji gue."
Arsenio hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, dan pada hari itu dia pastikan Cello akan merasakan apa yang Nio rasakan mungkin lebih.
"Bang Arsen! Udah gue duga lo disini!"
Arsenio menoleh ke asal suara, dia melihat Ricky yang berdiri di depan pintu. Ricky menutup pintu atap dan menguncinya lalu berjalan mendekat ke arahnya, dia duduk tepat di samping Arsenio.
"Ada apa cari gue? Terus kenapa lo kunci pintunya? Dapet darimana lo?"
Ricky meringis mendengar beberapa pertanyaan yang diajukan oleh abang beberapa bulannya itu, "Gue cuma sumpek di kelas, terus masalah kunci itu perkara gampang. Gue kunci supaya gak ada yang tahu kita disini."
Arsenio mengangguk mendengar jawaban Ricky lalu kembali menatap pemandangan di depannya.
Ricky menatap Arsenio dengan pandangan khawatir, tentu saja Ricky tahu bagaimana siswa di sekolah ini menjelekkan abangnya. Ingin rasanya dia menghajar mulut orang-orang itu jika saja Arsenio tak memberi peringatan padanya.
"Lo gakpapa Bang?" Ricky bertanya dengan hati-hati.
"Emang gue kenapa?" Arsenio balik bertanya, dia menoleh ke arah Ricky yang menatapnya khawatir. Arsenio sedikitnya merasa bersyukur ada Bang Setya dan Ricky yang selalu ada untuknya serta mempercayainya.
Ricky menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "Ya maksud gue, lo gak masalah sama orang-orang yang jelekin lo? Gue aja udah muak denger temen sekelas pada perhatian sama si caper. Diperhatiin bener kayak barang antik takut pecah. Makanya gue bolos."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSENIO
Teen Fiction[On Going] [BROTHERSHIP #02] [TRANSMIGRASI # 01] Zafran Arsenio adalah seorang remaja yang tinggal di panti asuhan yang terkenal akan kenakalan dan kecerdasannya. Bukannya terbangun di alam kubur tetapi Zafran Arsenio terbangun di tubuh seorang rema...