Pagi itu, aku berdiri diam di hadapan pigura berbingkai emas.
Di dalamnya, tersimpan potret pria dengan seragam kehormatan dan senyum yang selalu kurindukan.“Appa… Jisoo rindu,” bisikku pelan, menatap dalam mata sang Komandan yang kini hanya tinggal kenangan.
Tiba-tiba suara lantang memecah lamunanku.
“Sooya! Cepat bersiap! Hari pertama kerja tidak boleh telat! Setelah itu, bantu adikmu ke sekolah!” seru Eomma dari dapur.
“Iya, Eomma! Aku segera datang!” jawabku cepat, lalu mengecup pigura itu. “Appa, aku pergi dulu.”
Sejak tragedi itu, aku, Eomma, dan Chaeyoung tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota.
Appa—Hwang Taeyang—dulu adalah seorang Komandan Militer yang disegani. Tegas, bijak, dan penuh kasih. Tapi hidup kami berubah seketika, saat tuduhan keji menghancurkan segalanya.
"Hwang Taeyang, mantan Komandan Nasional, dinyatakan bersalah dalam kasus penculikan anak sulung Kim Company. Dijatuhi hukuman mati."
Begitulah judul berita yang menyebar di seluruh negeri tujuh tahun lalu.
Aku masih ingat jelas hari di ruang sidang itu. Tatapan Appa yang sendu... dan senyum terakhirnya yang menyakitkan.Aku tahu… Appa bukan pelakunya. Ia adalah pria paling lembut yang pernah kutahu. Tapi dunia ini kejam. Terlalu mudah mengorbankan rakyat biasa demi melindungi nama besar para bangsawan.
Yang lebih membuatku tak bisa tidur—mengapa anak sulung keluarga Kim, yang menjadi korban, tidak pernah bersuara?Apa yang sebenarnya terjadi?
Lamunanku buyar saat Eomma kembali berseru.
“Yak! Sarapanmu! Dan bantu Chaeyoung bersiap!”
“Arraseo, Eomma,” jawabku sambil menarik napas.
Di meja makan, Chaeyoung menatapku dengan mata cemas.
“Eonnie… apa kau yakin semuanya akan baik-baik saja di sekolah baru ini?”
Aku tersenyum dan mengusap rambutnya lembut.
“Semoga, Chaeng…”
---
Setelah sarapan, aku membantunya mengenakan sepatu dan mengambil tongkat besinya.
Chaeyoung—adik semata wayangku—adalah gadis cerdas dengan hati selembut kapas. Sejak lahir, ia menderita paralisis di kaki kanannya dan harus bertumpu pada tongkat setiap kali melangkah. Tapi meski tubuhnya lemah, semangatnya lebih kuat dari siapa pun yang kutahu.
“Ayo, Chaeng. Kita harus cepat,” kataku sambil menuntunnya.
---
Waktu istirahat.
“Huft…” keluh Chaeyoung sambil merapikan bukunya dan mengambil tongkatnya dari samping meja. Ia bersiap menuju kantin saat sebuah suara menyapanya.
“Hai.”
Seorang gadis dengan senyum ramah berdiri di sampingnya.Chaeyoung sedikit terkejut. “Oh, hai…”
“Apa kau mau ke kantin? Aku juga sendiri. Kita bisa jalan bareng,” tawar gadis itu.
“Iya… aku mau. Tapi… apa tak apa kau berjalan bersamaku? Maksudku… aku… berbeda,” ujar Chaeyoung ragu sambil menunduk.
Gadis itu terkekeh pelan. “Namaku Joy. Dan itu bukan alasan untuk tidak berteman, kan? Sudahlah, ayo.”
Chaeyoung tersenyum tipis. “Aku Chaeyoung. Senang mengenalmu.”
---
Keduanya melangkah menuju kantin, namun langkah mereka terhenti oleh sebuah keributan.
Brakk!
Seorang siswi terjatuh tepat di hadapan mereka. Seseorang mencengkeram kerah seragamnya—seorang gadis bertubuh jangkung dengan aura mengintimidasi.
“Shit! You're a fucking trouble, bitch!” makinya lantang, lalu mendorong si gadis malang hingga menabrak meja.
Chaeyoung terkejut. Matanya terpaku pada wajah gadis pemberang itu—cantik, dingin, dan tajam. Sorot matanya sekeras baja. Dan saat gadis itu menoleh, pandangannya bersirobok langsung dengan mata Chaeyoung.
Chaeyoung merasa tubuhnya mengecil. Sorot mata itu... seolah menembus hingga ke dasar jiwanya.
Joy segera menarik tangannya. “Ayo duduk di sana.”
Begitu duduk, Joy mengembuskan napas panjang.
“Gila… aku gemetar.”“Siapa dia, Joy?” tanya Chaeyoung masih terpaku.
Joy menoleh sambil meneguk minumnya.
“Itu Lalisa Kim. Anak orang kaya—sangat kaya. Gadis paling berbahaya di sekolah ini. Temperamennya mengerikan. Banyak siswa pindah sekolah karena dia.”Chaeyoung mengerutkan dahi. “Kenapa pihak sekolah membiarkannya?”
Joy hanya tertawa, sarkastik.
“Yak! Kenapa kau malah tertawa?”
“Kau serius? Chaeng… dia itu putri tunggal keluarga Kim, pemilik perusahaan raksasa di Korea. Sekolah ini practically milik keluarganya. Tak ada yang berani menyentuhnya.”
Chaeyoung terdiam. Dunia ini memang keras.
“Ayo, kita makan. Aku yang pesan. Kau mau apa?” tawar Joy.
---
Lisa’s POV
Sialan! Gadis itu benar - benar menyebalkan, beraninya dia menumpahkan minuman ke seragamku, Aku bisa meledak karena kesal!
Setelah mengganti seragam, aku keluar dari bilik toilet dan mencuci tangan. Tapi saat hendak keluar, seorang gadis masuk perlahan dengan tongkat di tangannya. Jalannya lambat, dan jujur saja... mengganggu.
“Shit! Lama banget sih,” gumamku kesal, lalu menabraknya tanpa peduli.
Ia sedikit goyah,
tapi aku tetap melenggang keluar tanpa menoleh.AUTHOR POV
Chaeyoung hampir kehilangan keseimbangannya.
“Huft… untung saja nggak jatuh,” desisnya sambil mengatur napas.
Gadis jangkung itu benar-benar menyebalkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Brightest
Mistero / ThrillerBebek berenang mungkin terlihat tenang, namun siapa sangka kakinya terus bergerak cepat untuk menjaganya agar tidak tenggelam. ---------------------------- "Terlalu banyak hal yang membuat pikiranku ingin meledak rasanya." -Jisoo- "Akan kutunjukkan...