37

622 59 12
                                    

The first story

Don't Judge me, because this is just my imagination

Mmmh 🙂

🔪

.
.
.


"Biarkan aku mengganti perbanmu,"

Tanpa menjawab pernyataan itu, Jisoo, memilih diam menatap sang adik yang tak kunjung membuka mata. Terhitung sudah 5 hari berlalu Jennie masih betah memejamkan matanya erat. Meski ia tak peduli pada luka di lengan kirinya, namun Jisoo tetap meringis saat alkohol dan obat merah mencium lukanya.

"Tahan, sebentar lagi,"

Sentuhan terakhir telah selesai. Jisoo melemparkan senyum tipisnya pada seseorang yang dengan tulus mengurus dirinya dan Jennie saat seperti sekarang.

"Gomawo Yong Eonnie,"

"Hm,"

"Soo, aku akan berangkat bekerja. Appa menyuruhku datang ke perusahaannya. Dan mungkin aku juga bisa mengecek keadaan kantormu sebentar. Tak apa bukan aku tinggal sendiri?"

Jisoo mengangguk, "Tak apa Eonnie. Gomawo sudah menjagaku dan Jennie,"

Selepas kepergian Solar. Jisoo termenung dalam diam menatap brankar Jennie. Dimana Irene? Gadis itu tengah memaksa perawat agar segera mencabut jarum infus di tangannya. Ia sudah memaksa sejak 2 hari lalu, tapi Jisoo tetap bersikukuh agar ia tetap di kurung di ruangan pengap ini.

"Jisoo Eonnie!"

Jisoo mengusap kasar sesuatu di pipinya lalu beralih menatap maknae yang sedikit berlari menghampirinya. "Jangan berlari Yeri-ah!" Peringat Wendy di belakangnya yang berjalan bersama Lisa dan Rosè.

"Eonnie, apa Jennie Eonnie belum bangun?" Tanya gadis yang lebih muda, menatap wajah Jisoo dan masih setia memeluk Eonnie-nya itu.

Gelengan kepala Jisoo membuat semua yang ada di sana mendesah sedih. Terlebih bagi Yeri yang langsung menumpahkan air mata di pelukan Jisoo. "Jangan menangis, kita doakan saja Jennie ya?"

"Boleh aku masuk Soo?" Tanya seseorang yang tiba-tiba saja berada di sampingnya.

"Rene Eonnie? Sudah sadar?"

Tanpa menggubris pertanyaan Wendy, Irene segera meninggalkan mereka diluar dan meraih baju medis untuk memasuki ruangan ICU. Langkahnya terhenti kala ia menutup pintu, berbalik dan menatap tubuh gempal itu terbaring lemah dan sedikit... kurus.

"Aku tidak boleh menangis!" Tekan Irene pada dirinya sendiri.

Kriett..

"Chagi-ya~ tidak ingin bangun, heum?" Irene menggenggam tangan Jennie yang terbebas dari selang infus. Mencium beberapa kali lalu menempelkannya di pipi.

"Bogoshippo~"

Tes!

"Jangan marah padaku, nde? Aku tidak tahu kenapa pipiku basah. Padahal aku tidak ingin menangis, tapi air matanya keluar sendiri," Tawa Irene pelan yang dibalas suara dari jam dinding.

"Sayangku, tidak ingin mengusapnya? Heum?" Air mata Irene semakin deras seiring ucapan demi ucapan yang ia lontarkan di depan sang kekasih.

Irene terlihat lemah jika tidak ada pasang mata yang melihatnya. Sejujurnya ia enggan menangis saat menjenguk Jennie tapi... hatinya tidak rela melihat sang kekasih yang tak kunjung bangun.

Our Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang