50. Terimakasih Semesta

67 3 0
                                    


Gia meletakkan buku-buku sekolah yang ada di tangannya dengan susah payah. Dia membuang napasnya melihat abangnya— kevin tidak memperdulikannya yang kesusahan. Terus terang saja, Gua membutuhkan bantuan. Namun ia tidak tega mengganggu kecerahan semangat abangnya untuk berkencan.

buk....
"Nah kan jatuh, hati-hati Gia." Kevin masih menatap dirinya di cermin tanpa mau membantu Gia. Boro-boro membantu, melongok ke arah adiknya itu juga tidak.

Gia berdecak sebal, tangannya meletakkan semua buku ke atas meja belajar lipatnya. Lalu mengambil buku yang jatuh.

"Abang, mau kemana sih?" tanya Gia sewaktu melirik ke arah abangnya yang kini menata rambutnya sendiri di depan cermin dengan pakaian rapi.

Kevin menoleh ke arah adiknya. Gadis itu duduk bersila di lantai ruang tamu dengan tangan terlipat di atas meja belajarnya. Kevin menyadari sesuatu, adiknya sekarang mulai menyukai belajar.

Padahal awal ia ke bandung, Gua bahkan sampai pura-pura pms untuk libur belajar 3 hari dengan alasan perutnya keram jika duduk terlalu lama. Kevin sempat menawarkan untuk belajar sambil tiduran tetapi Gia tetap merengek. Lucu sekali.

"Biasa lah," jawab Kevin selanjutnya sambil memainkan matanya.

Gia menyergit, menatap tak suka pada abangnya. Bibirnya mencebik. "Abang sekarang pacaran mulu, Gia ditinggal aja."

Memang sebenarnya di weekend begini Kevin seharusnya mengajari adiknya itu. Tetapi dia ada janji dengan pacarnya. Jadilah ia tidak bisa mengajari Gia.

"Lah kamu kan pacaran juga bentar lagi," sahut Kevin cepat. Matanya menyipit seraya terkekeh.

Gia sangat kesal melihatnya. Walaupun sebenarnya abangnya itu... tampan.

Tapi apa yang dikatakan Kevin benar, Malvin sebentar lagi akan ke rumah Gia untuk menemaninya. Tetapi tetap saja. Malvin tidak bisa mengajarkannya pelajaran. Malvin bukanlah seorang Gabrien yang sangat pintar.

Mengingat Gabrien. Cowok itu sudah masuk sekolah tepat 3 hari yang lalu. Gia tahu Gabrien datang dengan dipapah Ega, meski demikian ia sama sekali tidak punya waktu untuk mengamati orang yang pernah menjadi pacar sepihaknya itu.

Malvin selalu mengintrupsi Gia. Mengikuti Gia kemanapun gadis itu pergi. Gabrien pun tidak pernah mencarinya. Ya, dia bukan Gabrien yang dulu.

Seperti waktu itu di kantin, Gia ingat tangan Malvin menggenggamnya erat.

Semua orang di kantin memperhatikan mereka bergantian dengan kelompok Gabrien yang sudah lebih dulu berada di kantin pojok kanan sekolah. Gia sampai harus menegak ludahnya karena tatapan para siswi yang mengintimidasinya.

"Kamu kenapa?" tanya Malvin. Mata teduh pria itu menegaskan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Cowok itu ada bersamanya.

Kepala Gia menggeleng. Mereka melanjutkan jalannya untuk memilih meja yang kosong. Setelah duduk, Gia melirik ke arah meja Gabrien. Ray juga menoleh ke arahnya. Gia bisa melihat disana ada Ega.

Gadis itu benar-benar berusaha keras.

"Gia," panggil Malvin. Gia masih dengan pikirannya dan Malvin menyadari itu. Pandangan gadis itu ke arah meja Gabrien tidak bisa berbohong, kalau seandainya gadis itu sempat memiliki perasaan pda Gabrien.

Entahlah. Malvin tidak mau menerka sebasar apa perasaan itu. Ia tidak mau terlampau kecewa. Yang terpenting Gia adalah miliknya. Ya, Malvin berharap memang begitu.

"Sayang," panggilnya pelan. Gia menoleh ke arahnya dengan mata membukat. Malvin mengulum senyum.

Ia mengulanginya, "sayang."

Gia bersemu. Tangan Malvin dengan sigap mengusap pipi gadisnya itu lalu merengkuhnya dalam pelukan. tangannya tidak diam melainkan mengelus surai pirang Gia.

"Ayo ciptain dunia kita Gia, aku maunya begitu." Lirih Malvin dalam Hati.

Malvin tau Gia melihat ke arah Gabrien dalam dekap. Sejujurnya itu menyakiti Malvin. Tapi Gia benar-benar hanya ingin tau reaksi cowok itu. Dan benar cowok itu tidak memperdulikannya.

Hanya Ray, Stefan dan Fardhan yang mengamatinya. Ditambah penghuni kantin yang kini bersorak, cie.

"Ayo ciptain dunia kita Gia, aku maunya begitu." Lirih Malvin dalam Hati.

***

Neng... nong..
Gia mendelik beberapa saat setelah ia mendengar bel rumahnya berbunyi. Gadis itu menatap pintu rumahnya ragu. Bukankah Malvin memiliki kunci duplikat rumahnya?

Gadis dengan kaos dan celana sepaha itu mulai berdiri. Melongok ke arah pintu rumahnya seraya mendekatinya.

Ia membuka pintu rumahnya yang beraksen coklat itu lalu keluar menuju teras. Melihat sekitar dan tidak menemukan adanya orang. Namun ia mendapati sebuah surat yang di selipkan di keset depan rumahnya.

Tangan Gia mulai membuka surat itu. Ia membacanya sebentar.

Maaf karena udah nyerang lo, gue gak tau kalau lo ngerasain yang sama kayak gue. Mulai sekarang, gue hanya akan balas dendam ke Gabrien. Sekali lagi maafin gue.

Ratna Aldecherra

Seseorang menepuk pundak Gia. Gia tersentak dan membalikkan badannya. Tangannya dengan sigap menyembunyikan surat itu di belakang tubuhnya.

"Kamu lagi ngapain disini?" Malvin menatapnya penuh interogasi. Gia menegak ludahnya.

"Enggak, kepo deh," jawab Gia gugup.

Malvin mengacak rambut Gia gemas. "Emang sekangen itu ya, baru juga ketemu kemarin pulang sekolah," ujar Malvin menggoda.

Gia mengangguk cepat. "Heem kangen banget. Peluk," balasnya manja. Gia pikir hal ini lebih mudah untuk membuat Malvin mempercayainya.

Tentang Gabrien, Gia benar-benar tidak ingin ikut campur lagi. Ia berharap Ega berhasil membuat cowok itu jatuh hati padanya. Ega lebih hebat dari Gia untuk melindungi Gabrien dari Cherry, Gia tau itu.

"Uuu sini-sini Gianya Malvin." Tangan berurat Malvin mulai merengkuh Gia, membawa gadis itu dalam pelukannya. Gia menyambut oelukan Malvin.

Mereka pun masuk ke rumah Gia untuk belajar bersama. Tidak juga sih, hanya Gia, karena Malvin tidak bisa mengerti tentang kimia. Apapun itu, semuanya membingungkan. Ia rasa sejak awal dia salah jurusan, karena nilai geografi dan sejarah peminatannya selalu bagus.

Malvin bisa menangkap wajah kebingungan dan lelahnya Gia tapi gadis itu tidak menyerah sama sekali. Melihat itu Malvin menangkup wajah Gia. "Maaf ya, aku belum bisa sepinter itu buat ngajarin kamu."

Gia menatap manik mata Malvin. Ia mengangguk santai. Tapi kontak mata mereka belum putus.

"Tapi aku janji buat selalu usahain dunia aku itu kamu," lanjut cowok itu.

Gia mengangguk lagi. "Janji ya, bareng aku terus," kata Gia seraya memeluk Malvin.

Gia merasakan Malvin mengangguk. Ia tersenyum tipis.

Perlakuan Malvin selalu membuat Gia merasa aman dan baik-baik saja. Gia yakin Malvin akan menepati janjinya. Selama ada Malvin, apapun itu, Gia pasti bisa melewatinya. Terimakasih semesta karena sudah membiarkan ia jatuh cinta pada seorang Malvin Alhegra.

My MalvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang