Pukul 6 Gia masih berada di balik selimutnya, mengumandangkan syair-syair bawah alam sadar yang tidak jelas arti dan bentuknya. Sedangkan Kevin yang berada di meja makan bingung karena meja makan masih kosong.
Adiknya yang biasa datang kemeja makan lebih cepat darinya belum kelihatan sama sekali. Bahkan suara kegiatan paginya pun tidak terdengar.
"Gia," Panggil Kevin dari luar, cowok itu sudah mengenakan pakaian ke kampusnya. Kemeja flanel dan balutan celana jeans yang membuat Kevin terlihat lebih muda dari biasanya.
Kevin mengetuk pintu kamar Gia beberapa kali. "Gi, udah jam 6 loh. Kamu bisa telat," peringat Kevin sekali lagi.
Gia melenguh, berpindah-pindah posisi beberapa kali karena terganggu dengan suara Kevin. "Udah jam 6, Gia."
Mata Gia yang semula sayup-sayup terbuka kini terbuka penuh. Gadis itu menguap sebentar lalu mandi dan bersiap. "Bang Kevin, masih nungguin Gia di luar?"
Gia menunggu adanya sahutan tetapi ternyata tidak. Bisa jadi abangnya sudah pergi dan meninggalkan kunci motor untuknya.
"Astagfirullah. Bareng Malvin—nya gimana!" Pekik Gia kala mengingat ajakan Malvin tadi malam.
Tetapi Gia rasa, Malvin pasti sudah pergi terlebih dahulu. Jadi Gia pustuskan, Gia akan tetap sarapan terlebih dahulu karena cacing—cacing di perutnya mulai berbisik—bisik untuk meminta makan. Maklum cacing di perut orang kalem juga kalem jadi bisik—bisik aja.
Setelah sarapan. Gia bergegas keluar dari pintu rumahnya, baru saja ia membalikkan tubuhnya Malvin sudah berdiri di samping pintu rumah Gia dengan pose sama seperti beberapa hari yang lalu ketika ia menunggui Gia di kelas.
"Hai," Sapa Malvin.
Gia mengangguk. "Oh, hai."
"Maaf lama," lanjut Gia karena sadar jika dia sudah tidak tepat waktu.
Malvin menggeleng samar dan meraih tas Gia cepat. "Ayo berangkat!"
Gia membiarkan Malvin menarik lembut tangannya dan jangan lupa dengan genggaman Malvin yang era di tangan kurus milik Gia.
OOO
Malvin memberhentikan motornya tepat di depan gerbang sekolah yang kini tertutup. Malvin mendengus sedangkan Gia menggigit bibirnya, merasa tak enak.
"Malvin, maaf ya jadi telat," ucap Gia merasa bersalah.
Malvin menoleh lalu tersenyum. "Enggak apa-apa, Gia."
Keduanya masih berdiri di depan gerbang sekolah hingga akhirnya dibukakan oleh guru yang sedang piket. "Kalian terlambat?"
Malvin menatap tajam guru itu. Sudah tau mereka memang terlambat, lantas mengapa harus bertanya lagi.
Sang guru mulai ciut ditatap Malvin begitu. Gia yang semula menatap fokus pada guru itu merasa aneh dengan sikapnya yang awalnya sedikit garang sekarang sudah biasa-biasa saja.
Diliriknya Malvin. Ia terkekeh kecil lalu bergumam, ah pantes.
"Apa hukumannya?" Tanya Malvin to the point.
"Lari keliling lapangan 5 kali," jawab guru itu tegas.
Malvin melirik Gia. "Biarin dia masuk ke kelas, hukumannya saya yang lakuin."
Guru itu mau tak mau mengangguk, kemudian mempersilahkan keduanya masuk. Malvin meberi Gia jalan untuk melangkah masuk ke pekarangan sekolah duluan. Ia mengambil motornya dan mendorongnya untuk ikut masuk.
"Kamu ke kelas duluan aja. Nanti kalo ditanyain, udah dihukum bilang sama gurunya ya?"
Gia menggeleng. "Tapi kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Malvin
Teen FictionCerita ini tentang masalalu Gia dan Malvin. Tetapi cerita ini juga tentang Gabrien yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada Gia. Lantas, akhirnya siapa yang sebenarnya akan bersama Gia? Keduanya pesaing hebat. Maju anti mu...