39. Nothing

102 9 3
                                    


Langkah kaki seorang gadis berangsur-angsur menghilang. Ia menghela napasnya sebentar sambil membersihkan basah di pipinya. Tangan Gia mulai membuka pagar rumahnya, kemudian masuk ke rumahnya itu.

Letih. Itulah yang Gia rasakan saat kakinya menapaki kamarnya. Ia lelah memikirkan Gabrien dan rasa bersalahnya. Sumpah, laki-laki itu berhasil mengganggu pikirannya semenjak ia beranjak dari lapangan basket indoor .

Gia berniat membersihkan tubuhnya yang terasa kucel sekali itu terlebih dahulu. Baru, nanti ia mengerjakan segala hal yang ingin ia kerjakan. Contohnya pr. Bukannya itu hal yang menakjubkan kan?

Sejak kapan si lemot dan si bego Gia rajin belajar?

Hal ini tentunya karena ceramah rutin yang dilakukan oleh Kevin. Sanking capeknya Gia mendengarkan, ia malah jadi terbiasa melakukan kegiatan itu.

Gia memasuki kamar mandi dan mulai membersihkan tubuhnya.

Tidak lama, kira-kira sepuluh menit Gia sudah kembali ke atas kasur. Berguling-guling disana sambil menunggu abangnya memanggilnya untuk turun mengerjakan pr.

Sepuluh menit kemudian, Gia malah merasa tidak nyaman. Ia bangkit dari baringnya dan duduk bersender pada kepala ranjang.

Gadis itu mencepol rambutnya. Bosan. Ia mengambil ponselnya yang sebelumnya ia letakkan dinakas. Baru saja ingin membuka roomchatnya dengan Kevin, ia malah melihat Kevin mengupdate snapgramnya.

Karena penasaran Gia membuka snapgram tersebut. Terlihatlah Kevin yang sedang bermain ps di kamarnya bersama seseorang. Tak lupa tulisan menjijikkan yang menyertainya 'have fun with guy'.

Ah, sebenarnya tidak terlalu tapi karena Gia kesal diabaikan hanya karena bermain PS seperti itu. Tulisan itu menjadi memuakkan di mata Gia. Kalau tidak jadi belajar, kan bisa segera mengechatnya.

Lantas dengan tarikan satu napas Gia mulai bangkit dari duduknya dan menuju kamar kevin yang berada di lantai atas.

Kriekkk... Gubrak!
"ABANG! kita jadi belajar gak sih?!"

Mata Gia melotot, tangan kirinya mengepal dan wajahnya merah padam.

Kevin hanya menatap Gia heran. "Tumben nagih, biasanya ditarik dulu," cibir Kevin.

Mata Gia mengerling. "Terus kalo nagih salah?"

Kevin hanya bisa mengangguk pasrah. Cewek selalu benar. "Yaudah ayo!"

"Sabar kali," ujar Kevin melirik Gia malas.

Gia mengernyit karena melihat teman abangnya yang tidak menoleh ke arahnya sama sekali. "Itu siapa bang?" Tanya Gia pada Kevin yang kini tengah mencari kacamata bacanya.

"Liat sendiri lah," balas Kevin terkesan tak perduli. Tapi sebenarnya ia sedang menahan kekehannya.

Gia akhirnya mendekati teman abangnya itu. Walau aslinya Gia tidak terlalu penasaran, tetapi rasanya tidak masalah juga.

Mata Gia melotot sempurnya dan langsung ingin balik badan. "GABRIEN!" Pekiknya. Sayangnya tubuh Gia tidak seimbang hingga ia hampir terjatuh. Untung Gabrien menahannya.

Terjadilah mata Gia yang diikat oleh mata indah Gabrien. Mereka bertatapan. Gabrien dengan tatapan tajamnya sementara Gia sibuk mengatur deru napasnya.

Ia menengak salivanya. Sial, matanya bikin gue gak bisa kedip, batin Gia. Sementara itu Kevin kali ini tertawa puas. Ia cekikikan sendiri.

"Hm, disini ada orang!" Ejek Kevin.

Gia mendengus. Menjauhkan tubuhnya dari Gabrien dan meninggalkan kamar Kevin dengan kesal.

Ia kembali ke kamarnya untuk mengambil buku pelajaran dan menuju ruang keluarga untuk belajar.

Kevin pun juga turun setelah Gia sudah mendudukkan bokongnya di sofa ruang keluarga. Kevin menatap Gia yang kini sibuk memilih buku yang akan dia kerjakan prnya.

"Ehm Gi." Kevin berdehem.

"Kenapa bang?" Tanya Gia merespon tetapi ia masih sibuk dengan bukunya.

"Kebayang gak sih kalo abang meninggal duluan dari kamu?"

"Hah?!"

"Apasih bang, gaje banget. Jangan bahas yang gitu-gitu dong," lanjut Gia. Ia merengut kesal.

Kevin menopang dagunya, tampak berpikir sebentar. "Itusih alasan abang bolehin kamu pacaran. Kamu kan punya 2 sekarang."

"Jangan ngada-ngada deh bang," bantah Gia.

"Tapi kamu gak boleh sakitin satu pun," kata Kevin.

"Kenapa?" Gua mengangkat alisnya.

"Nanti abang gak bisa main bareng." Kevin tertawa garing.

Gia mencebik. "Tapi, tadi ceritanya abang udah mati."

"Dasar." Tawa Kevin akhirnya reda.

Tlingg....
Kevin membuka ponselnya. Ia membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.

"Gia, abang mau ketemu temen. Abang pergi dulu ya?"

Mata Gia membulat. "Hah?" Ia menatap Kevin panik. "Terus belajarnya gimana?"

"Besok-besok ajalah," ucap Kevin santai.

"Abang, ini tuh harus dikumpul besok. Terus ya, Gia gak ngerti sama sekali."

Kevin mulai mengacak-acak rambutnya. "Si Gabrien di sekolah pinter gak?"

Gia mengangkat bahunya. "Mana Gia tau," ucap Gia ogah-ogahan.

"Tapi kamu nyuruh abang nyari pacar, ini lagi usaha tau!" Kata Kevin.

Ia mengambil jaket yang di gantung di gantungan depan pintu rumah. "Udah ah, kalau mau besok gak dihukum minta ajarin aja. Kan kalian pacaran," ucap Kevin sebelum pada akhirnya ia keluar melalui garasi.

Gia merengut. Super sebal. Andai saja perpisahannya dengan Malvin tidak membuat abangnya turut menjadi jomblo. Gia tidak akan biarkan Kevin pergi, sekuat tenaga Gia tarik kerah bajunya kembali ke dalam lagi.

Lalu, mata Gia fokus kembali pada pr kimianya. Penuh dengan atom. Mata Gia berkedip. Astaga ini kenapa huruf punya anak semua?

Gia pura-pura sibuk mencoret-coret bukunya ketika Gabrien keluar dari kamar abangnya. Cowok itu berjalan ke dapur tanpa sungkan. Walau sempat melirik Gia sekilas, Gabrien sama sekali tidak bersuara. Jadi, mungkin, ia masih marah.

Gia merasa kerongkongannya mulai kering akibat terlalu banyak mendumel dalam hati. Ia melongok sebentar melihat keberadaan Gabrien.

Syukurlah. Kini cowok itu kembali memainkan ps sambil memfokuskan diri dengan benda kurang ajar itu. Gia bangkit. Berjalan menuju dapur hendak membuat teh hangat mungkin.

"Saya mau pulang!"

Gabrien mengucapkan kalimat itu bersamaan dengan Gia yang baru saja kembali dari dapur. Ia masih memegang secangkir teh sambil menatap Gabrien polos.

Tanpa basa basi Gabrien keluar dan Gia hanya mendengar debuman motornya yang melaju dari dalam rumah. Ia tersenyum pedih. Ini kan salahnya.

Sekarang, mari pikirkan soal prnya yang belum selesai dan harus dikumpulkan besok. Sepertinya memang harus akan dihukum. Namun,

"Hah? Kok udah selesai gini?" Gia membolak-balik bukunya dan mengecek kembali apakah jawaban itu memang tertulis atau khayalannya saja.

"Kak Rey bener, aku gak kenal kamu, kak."

My MalvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang