14. Khawatir

189 15 0
                                    

Bel istirahat berbunyi, beberapa siswa di kelas 11 IPA 4 berteriak keras karena bebas dari kebut materi sang guru biologi. Mereka memekik keras-keras tanpa memperdulikan Malvin yang sedang tidak baik hari ini.

"Diam!" Pekik Malvin.

Kontan seluruh siswa-siswi yang berteriak heboh tadi terdiam. Malvin memang tidak menunjukkan tatapan tajamnya seperti biasa, tapi suaranya yang menggelegar dengan nada beremosi membuat mereka takut untuk bertindak lagi.

Malvin masih menyembunyikan wajahnya di lipatan tangannya, menahan kepalanya untuk menghilangkan rasa pusing yang menjerat.

Rian menepuk Malvin. "Ke kantin?"

Malvin tidak menjawab. Lantas Rian paham dan segera mengajak kedua temannya yang lain untuk pergi ke kantin.

Gunawan dan Frans khawatir tapi menutupi rasa itu dengan pemahaman jika Malvin ingin sendiri.

Lima menit kemudian Malvin bangkit dari kursinya dan keluar dari kelasnya. Pas pula bertemu dengan Jihan dan Tere yang sedang menuju ke kantin.

Jihan dan Tere kaget melihat wajah Malvin yang begitu pucat. Mereka bahkan sampai menghentikan langkah mereka. Malvin mengernyit melihat Jihan dan Tere yang tampak kaget, tapi dia tak perduli.

"Gia gak ke kantin?"

Tere menggeleng. "Lagi bad mood dia," jawab Tere.

"Lo gak apa-apa, Vin?" Malvin hanya menggeleng lalu pergi menuju kantin.

Tere dan Jihan kembali bingung dengan sikap Malvin itu, segera mereka menuju tujuan mereka lagi.

OOO

Tangan Malvin penuh dengan somay dan juga es teh manis yang dibelinya di kantin barusan. Ia memotong barisan antrean dengan memasang wajah datar dan tatapan tajamnya, jika sudah begitu orang-orang akan menepi.

Beberapa juga kaget karena Malvin tampak begitu pucat. Ketiga temannya juga menatap Malvin bingung, mereka berpikir tadi sebenarnya Malvin menolak ajakan mereka atau tidak.

Langsung saja Malvin mengambil somay yang sudah di pack oleh nyak kantin dan juga segelas es teh manis. Ia terpaksa harus ke kantin ini mengingat Gia bisannya membeli makanan disini.

Setelahnya ia pergi dari kantin tanpa mengucapkan apapun kecuali meninggalkan uang dua puluh ribuan di meja nyak kantin.

Malvin berjalan di koridor, tatapannya lurus tanpa perduli bisikan orang-orang yang dia lewati. Malvin memang tidak suka di tatap prihatin oleh orang-orang, namun bukan ini saatnya untuk ia menghakimi orang-orang itu.

Anggap saja mereka perduli dengan Malvin.

"Eh... gila itu adik kelas yang ganteng banget kok bisa kek mayat ya?"

"Si Malvin woy, pantes tadi marah-marah di kelas, lagi sakit ternyata."

"Kak Malvin pucat banget hari ini!"

Itu seruan dari 3 tingkat berbeda, kakak kelasnya, teman satu kelasnya dan juga adik kelasnya.

Malvin tidak menoleh untuk terlihat merespon ucapan-ucapan mereka. Cowok itu justru mempercepat langkahnya di koridor.

Begitu sampai, Malvin masuki kelas itu. Terlihat kosong karena hanya ada satu orang gadis di dalamnya.

Segera Malvin mendekatinya. "Gi," panggil Malvin.

Gia menoleh dan menatap Malvin. "Makan, nanti kamu sakit," pinta Malvin seraya menyodorkan somay dan es teh.

"Kalo gue sakit, itu urusan gue sama kak Kevin, bukan urusan lo. Lo juga bukan dokter yang ribet buat ngobatin gue," ucap Gia sinis.

My MalvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang