16. Jatuh Cinta

172 11 0
                                    

Kemarahan seseorang ada berbagai tipenya. Ada yang mudah marah tetapi cepat hilang marahnya, ada yang mudah marah lama hilang marahnya, ada yang susah marah lalu mudah hilang marahnya dan yang terakhir adalah yang susah marah namun lama hilang marahnya.

Rian berada pada opsi kedua. Dia adalah makhluk berwujud manusia yang memiliki hati sekeras batu. Susah memaafkan namun mudah mengundang marahnya.

Seorang Rian tidak akan membiarkan yang menjadi miliknya diusik dan yang menjadi kesayangannya diganggu. Dia akan menuntaskan apapun dengan cara apapun tetapi dibatas caranya sendiri.

Entah membuat orang itu langsung menderita atau menyiksanya perlahan. Intinya hati Rian selalu senang melihat orang yang dibencinya menderita. Dan ia akan lebih senang lagi jika orang itu terus menderita hingga ajal menjemputnya.

Tetapi di tempat dimana sekarang ia berada, ia hanya mampu melakukan satu hal. Hanya gertakan kecil. Dan mau tak mau harus terwujud atas kehendaknya.

Rian mematap tajam. "Pokoknya, saya mau anak itu di keluarkan dari sekolah ini."

"Saya tidak bisa mengabulkan permintaan kamu secara tiba-tiba, itu sulit. Harus ada kematangan pemikiran," balas Sang guru.

Rian mengernyit, menatap orang itu dengan alis terangkat. "Kenapa tidak bisa? Saya anak pemilik sekolah, dimana kesalahannya?"

"Leon adalah siswa dengan catatan pelanggaran bersih. Tidak mungkin hanya karena satu insiden dia dikeluarkan, belum lagi jabatan suksesnya sebagai ketua OSIS" jelas Guru itu.

Rian melenguh. "Saya bicarakan dengan ayah saya, setalah itu jika beliau setuju, keluarkan Leon."

Guru itu mengangguk. "Baik, saya tunggu."

OOO

Rian menghampiri Tere yang sedang duduk di bangku depan ruang kepala sekolah. Yap, ruang yang baru saja dimasukinya.

Bibir cowok itu tersenyum tipis lalu mendekati Tere dengan satu tangannya yang mengusap lembut rambut gadis itu. Ia mengacak-ngacaknya kemudian.

Tere berdecak, lantas mendongak. "Lo ngerusuh deh!" Umpatnya sebal sambil merapikan lagi rambutnya.

"Dih, sok cantik banget lo," ejek Rian dan langsung mengambil posisi duduk di samping Tere.

Mata Tere menatap Rian tak percaya. "Yaudah, mati sana lo! Lo cari cewek lain sana," kesal Tere.

"Heleh-heleh, ntar nangis di rumah. Terus nanti tiba-tiba nelepon minta maaf, usir aja gue terus."

Tangan Tere menabok bahu Rian. "Kata siapa gue begitu?"

"Lah yang lo telpon kan gue," balas Rian sambil memainkan alisnya.

Tere mengusap wajahnya lalu menutup pipinya yang memanas. Rian ini sangat kurang ajar, sudah tau Tere berbuat demikian. Mengapa harus diungkit kembali.

"Yang?"

"Apa?"

"Lanjutin omongan lo," ujar Tere yang kini sudah melepaskan tangannya dari pipinya.

Rian mendengus sebab gagal mendapat jawaban 'yang' yang sama agar bisa menggombali Tere. Pacarnya ini memang agak berbeda. "Gue mau ngomong, jangan dipotong sayang."

Tere berdehem. Padahal hatinya sudah menghangat dan ingin tersenyum mendengar ucapan Rian.

"Gimana kalo kita kayak Malvin sama Gia?"

"Apanya yang gimana?"

Rian berdecak sebal. Lalu menarik Tere ke dalam dekapannya. "Manggil aku kamu," bisik Rian.

My MalvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang