Setelah dua hari berlalu, tibalah hari dimana Malvin akan mengunjungi Clara. Meski rasanya Clara tidak lagi menjadi bagian yang penting dalam hidup Malvin seperti dulu saat ia belum dekat dengan wanita yang benar-benar ia cintai. Tetapi rasa iba terhadap Clara itu masih ada.
Ia berjalan santai, tidak buru-buru sama sekali. Seragamnya sudah digantikan dengan t-shirt berwarna abu navy yang bercorak soft abu.
Malvin juga sudah meminta ijin pada Gia untuk pergi dan tidak bisa menemani gadis itu latihan persiapan cheers untuk lomba dua minggu lagi. Ia sangat merasa bersalah. Tetapi bagaimana lagi, Malvin terlanjur berjanji pada Gerald.
Langkah Malvin melambat, seiring kemudian berhenti. Tangannya membuka pintu ruangan dimana Clara berada.
Ia tersenyum melihat Clara yang begitu antusias. Walaupun begitu, tetap, Malvin tidak ingin perasaan Clara tumbuh untuk dirinya semakin besar.
Lalu Malvin mendekat, duduk di kursi samping ranjang Clara. "Hai!"
Veve tersenyum. "Hampir dua minggu lo gak jengukin gue, 3 bulan satu minggu lagi gue bakalan mati loh, Vin. "
Mata Malvin membulat. "Apasih lo?"
Clara menaikkan bahunya. "Gue gak tau apa yang bikin lo begitu. Tapi gue yakin itu bukan karena gue. Lo marah sama Gerald, terus kenapa lo lampiasin ke gue?"
"Gak gitu Clar, gue tau disini pasti ada Gerald dan gue gak mau ketemu sama dia daripada malah gue tonjok mukanya. Cuma itu," jelas Malvin.
"Lo gak kangen sama gue? Gak peluk?" Tanya Malvin menggoda.
Clara mengangguk pelan. Lalu mereka berpelukan.
Terus terang Malvin merasa bersalah dengan Clara tetapi memang itu alasannya. Gerald sudah membocorkan rahasianya pada Rian, terlebih tanpa sepengetahuannya. Ia jengkel setengah mati.
Dan juga, menjaga perasaan Gia.
Di awal, memang Malvin mau Gia dan Clara berteman dekat. Namun, akhir-akhir ini, Gia sensitif. Malvin rasa, meskipun mereka tak punya hubungan yang jelas, menjaga hati Gia sudah menjadi prioritas.
Clara menaikkan alisnya. "Yakin cuma itu?"
"Gak termasuk menjaga perasaan Gia karena kalian udah jadian?" Tanya Clara serius.
Malvin yang semula menebar senyum perlahan mengubah ekspresianya. Itu juga termasuk. Tapi mereka berdua belum jadian. Ah... jadi sedih.
"Gue gak akan nembak Gia," ucap Malvin datar.
Diam-diam Clara tersenyum senang. Lega bukan melihat gebetan tidak menembak seseorang yang sedang dekat dengannya?
"Walaupun gue cinta sama Gia."
OOO
Kaki Malvin berjalan santai selepas keluar dari ruang Clara. Ia sempat berpapasan dengan Gerald, tetapi ia malas menyapa dokter ember itu.
Ia masih kesal.
Gerald menatapnya seperti anak kecil sedang Malvin menatap Gerald tajam. Justru itu lucu bagi Gerald selaku dokter yang dewasa ketimbang Malvin.
Dahi Malvin mengernyit begitu melihat sosok Rian sedang berjalan dan memasuki sebuah ruangan. Malvin tidak tau apa-apa jika memang ada seseorang yang sakit disini.
Entah itu Tere atau keluarga Rian. Rian tidak menagtakan apapun. Tapi ia ingat satu nama.
Leon.
Malvin ingat betapa marahnya Rian karena putus dari Tere kemarin, ia bahkan bersumpah akan membuat Leon menderita seumur hidup.
Ingatan itu membuat Malvin sadar apa yang harus dia lakukan. Sebagai sahabat, ia mengerti dan tidak akan melarang Rian. Namun, ia harus mengawasi Rian dan menahannya jika sudah terlalu berlebihan.
Malvin langsung mengikuti Rian.
Malvin hanya mengintip dari pintu yang terbuka sedikit. Rian tidak menutup pintunya rapat. Sangat ceroboh.
Di dalam sana Leon masih terbaring dengan lebam cukup banyak di wajahnya yang cukup tampanlah tapi tetap lebih ganteng dirinya, menurut Malvin.
"Bajingan! Bangun lo!" Rian berujar dengan suara tinggi.
Leon membuka matanya karena suara Rian yang benar-benar berisik itu sangat mengganggunya.
Leon berusaha duduk sambil memegangi perutnya yang terasa nyeri. Ia memandang wajah Rian dengan smirk.
"Enak bat penyiksaan lo, Yan!" Leon memandangi dirinya. Kakinya yang sedikit retak dan perutnya yang dijahit
Rian menatap Leon berapi-api. "Anjing! Gara-gara lo gue putus. Gara-gara lo, gue kehilangan orang yang gue sayang lagi," kata Rian sambil memukuli Leon.
Bahkan sebelum luka lebam Leon pulih, Rian sudah menambahnya lagi.
"Entah sebenci apa gue sama lo, rasanya gue mau bunuh lo, anjing. Guna lo hidup apasih? Apa?"
Leon mengusap ujung bibirnya yang berdarah lagi. Ia masih menatap Rian dengan senyum memuakkannya.
Rian semakin benci melihatnya. Bukannya meminta maaf, senyum itu malah menantangnya. Rian makin memukuli Leon.
Melihat itu Malvin buru-buru masuk ke ruang rawat Leon. Menahan Rian yang sedang emosi bukan kepalang. Bahkan Leon hampir kehilangan kesadarannya. Dan itu terlalu berlebihan.
"Yan,"
Rian menengok sebentar. Ia lalu melanjutkan aksinya.
Memukuli Leon.
Malvin tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Tindakan ini harus dihentilan secepatnya.
Malvin berpindah posisi, menghalangi wajah Leon dari jangkauan pukulan Rian. Rian yang sudah melayangakan pukulan tak sengaja mengenai dada Malvin. Pukulan itu pukulan Rian yang terakhir ingin cowok itu layangkan hingga sangat kuat.
Malvin tersungkur, terbatuk-batuk beberapa kali. "Yan, udah!"
Rian panik, Leon yang masih sadar itu juga sama. Ia bahkan kaget melihat Malvin yang membelanya.
Karena, sesungguhnya, sama seperti Rian. Seorang musuh lebih tau segalanya dari pada teman biasa.
Kesadaran Malvin meghilang setelahnya.
Dan, Leon-lah orang yang paling merasa bersalah sekaligus menyesal. Ia tau kemana Malvin saat menghilang setahun waktu itu.
OOO
Gia berlari-lari di koridor rumah sakit, mempercepat langkahnya seiring rasa khawatirnya terus bertambah.
Setelah Rian mengabarkan kepadanya tentang kondisi Malvin. Gia melesatkan motornya membelah kota Jakarta menuju sebuah rumah sakit dimana Malvin dirawat.
Hingga Gia sampai di depan sebuah ruang ICU. Gia ingin masuk, tetapi melihat ada Clara di dalam dari kaca ruang tersebut. Gia menetralkan seluruh gejolak dalam dirinya melihat Clara memeluk Malvin.
Setetes air mata Gia turun. Ia menyadari bahwa, bahkan disaat seperti ini, yang pertama untuk Malvin, masih Clara. Kenapa bukan dirinya.
Lantas Gia beringsut. Mundur lalu membalikkan badannya dan pergi.
Saat terbaik patah hati adalah pergi sejauh-jauhnya dan menyepi sesepi-sepinya. Ia, yang patah hati, hanya butuh sendiri.
[290618]
KAMU SEDANG MEMBACA
My Malvin
Teen FictionCerita ini tentang masalalu Gia dan Malvin. Tetapi cerita ini juga tentang Gabrien yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada Gia. Lantas, akhirnya siapa yang sebenarnya akan bersama Gia? Keduanya pesaing hebat. Maju anti mu...