42. Gabrien dan Ega

134 10 1
                                    

"Kok bengong?"

Gia masih diam. Menatap Malvin yang sedang memberi senyum favorit Gia. Ia memperhatikan setiap lekuk wajah sempurna milik Malvin.

Hidung mancung, rahang tegas, bibir merah yang bersih dari rokok, dan juga tatapan tajam namun hangat jika untuk Gia. Malvin sempurna.

Sayangnya, tuhan memberikan cobaan untuk orang sesempurna Malvin. Dia tidak boleh sering tersenyum, bahkan senyum saja merupakan salah satu kesempurnaan Malvin.

Tangan Malvin terangkat, meraih wajah Gia. Mereka bertatapan. "Hayo, ngeliatin apa?" Matanya berkedip dan senyumnya kian melebar tapi kini berserangai.

Gia hanya tersenyum tipis. "Kamu pucat banget," ucap Gia.

Senyum Malvin sirna. "Kamu mikirin apa?"

Gia membuka mulutnya. Kalimat yang akan dikeluarkannya hilang begitu saja.

"Kamu percayakan aku baik-baik aja?" Malvin berucap tegas dengan tatapan memohon.

Gia bingung. Niatnya ingin mengatakan kalau ia tahu segala tentang Malvin sudah tidak ada lagi. Gia tidak mau merusak senyum itu.

Mau tak mau. "Aku percaya." Suara Gia tertahan. Tapi sedetik kemudian Gia tersenyum sambil mencubit pipi Malvin.

Malvin semakin menggembungkan pipinya. Membuat Gia lantas gemas dan mencubitnya lebih kuat. Begitu terus, karena Gia dengan tawa lucunya menghiasi pendengaran Malvin.

"Adaw!" Malvin berteriak dan menarik wajahnya dari tangan Gia.

"Kesakitan nyubitnya ya?"

Malvin tidak menjawab sibuk dengan pipinya. Ia mengusap-usap pipinya yang kini merah.

"Coba sini, lubangnya masih ada gak?"

Malvin menggeleng. "Sa—kit, sayang, kamu jahat!" Tanpa sadar lesung pipi milik Malvin timbul lagi. Gia menatap horor.

"Kok masih ada?"

Gia mendekat,  Malvin kini menatap awas padanya. Tangan Gia terangkat lagi

"Aaa.. Gia sakit!"

OOO

Udara yang sepoi-sepoi itu dinikmati seorang cowok yang bisa dibilang tertampan satu SMAN 47. Ia tersenyum pedih. Lalu menghisap dalam-dalam asap rokoknya hingga ia terbatuk-batuk dan kemudian tergelak.

Berdiam sambil memikirkan tentang dirinya. Dulu, rasanya tidak sepayah ini. Ia memang hanya menyesal dulu, namun sekarang, mengapa semuanya serba sulit.

Cowok itu Gabrien. Ia pernah didekati seorang cewek, tapi Gabrien mudah untuk membuatnya pergi. Tetapi kenapa sekarang ia justru yang mengekang Gia.

Seolah manusia tanpa udara. Seolah bumi tanpa air. Ia tidak mau Gia pergi dari hidupnya.

"Uhuk-uhuk." Gabrien batuk. Ia menahan napasnya sebentar sambil memegangi dadanya.

Seseorang datang dan merampas rokok Gabrien. Setelahnya membuang rokok itu cuma-cuma. "Anjing!" Umpatnya.

"Babi, kalo mau mati mikir-mikir. Tempatnya jangan disini," kata cewek itu galak.

"Nggak lucu sekolah sebagus ini ada kintil kaya kamu," guraunya. Tetap dengan tatapan tajamnya.

Gabrien menatap tak suka. "Cih...sepupu macam apa?"

"Whatever." Enteng gadis itu.

"Gimana tadi?" Tanya Gabrien.

"Oh. Ya, gue mata-matain." Gadis itu menjawab setengah hati. Pasalnya dengan mudahnya topik mereka terhalang oleh Gia.

Gabrien hanya berdeham. Lantas mengambil bungkus rokoknya. "Eh si babi, ada cewek juga tetep merokok."

"Tumben bawel," cibir Gabrien.

Gadis itu merengut. "Kan kamu sepupuku!"

Gabrien tidak perduli. "Lagian kalo Gia, baru gue mikir dua kali."

Bibir gadis itu terkatup. Rasanya seperti dadanya ditusuk oleh pisau yang tumpul. Ia dan Gabrien sangat dekat dan begitu mudah dekat. Namun mengapa untuk menembus hati Gabrien rasanya sulit. Kenapa dirinya tidak bisa seperti Gia.

Kenapa ia tidak bisa setajam Gia untuk menembus hati Gabrien yang beku. Kenapa?

"Kenapa?" Gabrien melempar bungkus rokoknya ke wajah Gasis itu.

"Eh sialan!"

"Cowok Gia siapa namanya?" Tanya Gadis itu menerawang.

Gabrien menjawab,"Gabrien Ervano."

"Bukan nama maneh monyed."

Gabrien terkekeh. "Lucu amat sih jadi sepupu. Sini deketan!" Gabrien duduk di samping Gadis itu, merangkulnya dengan santai.

"Siapa?"

"Kan bener saya pacar Gia. Terus salahnya?"

Menghela napas. Gadis itu menyentil kening Gabrien. "Oke, doinya maksudku."

Gabrien mungkin tidak sadar jika kebiasaannya menyentil kening seseorang adalah kebiasaan yang didapatnya dari sepupunya itu. Ia juga tidak sadar jika sebenarnya keduanya memiliki rasa sayang yang sama. Mungkin gadis itu lebih sedikit

"Malvin," balas Gabrien.

Gadis itu terdiam cukup lama.

"Saya gak bakal setuju sama isi kepala kamu, Ga!" Gabrien kesal. Ia bisa menebak isi kepala sepupu sialannya itu. Isinya pasti cara licik yang instan.

Gadis itu nyengir sambil menggaruk kuduknya. "Kok tau sih mau main tikung-tikungan."

"Saya tau sepupu saya yang cengeng ini gimana," ucap Gabrien gemas.

Ia kemudian menggelitiki pinggang ramping milik sepupunya itu. "Kamu bakalan nangis kalau saya gini-in."

"Andai kamu tau, aku selalu berharap kita gak pernah punya hubungan darah yang sama." Batin gadis itu.

My MalvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang