18. Kakak-Adik

155 13 0
                                    

Gia sudah rapi.  Ia mengenakan baju simple tetapi masih pantas digunakan untuk bertamu ke rumah orang.

Ia memandangi dirinya di cermin, bingung ingin mengenakan make up tipis atau tidak. Namun akhirnya ia memilih mematut dirinya hanya dengan bedak bayi.

Sebenarnya hingga weekend tiba, Gia belum berani bertanya pada Malvin tentang Sanjay. Gia hanya belum siap jika Malvin adalah Sanjay. Jika memang begitu, Gia akan malu setengah mati.

Lagi, siapa yang mau menyukai gadis dengan riwayat bertubuh gemuk.

Sialnya, dulu Gia objek perundungan kakak-kakak seniornya.

Teman Gia hanya Tere.

Beruntungnya Gia, ketika ia berteman dengan Tere. Perlahan tapi pasti pembullyan untuknya berkurang. Tere cantik, idola di SMP tetapi ia juga tomboy dan selalu membela Gia ketika di—bully.

Tere-lah yang membawanya memasuki arena pemandu sorak. Tentunya tidak di sekolah, Tere dan dirinya juga paham betul kalau itu akan membuat masalah besar.

Tere juga yang membuatnya bisa kehilangan banyak berat badan.

Gia tersenyum tipis mengingat betapa manisnya pertemanannya dengan Tere. Awalnya Gia sempat mengira Tere ada maunya, ternyata tidak. Bahkan hingga sekarang gadis itu masih menjadi temannya.

Tlingg...
Bel rumah Gia berbunyi, Gia segera keluar dari kamarnya dan menuju pintu rumah yang berada di lantai bawah. Gadis itu membukakan pintu beraksen coklat itu dan menmukan Malvin dengan senyuamannya.

"Hai Gia!"

Gia tersenyum tipis dan membiarkan Malvin masuk. "Abang kamu masih ke luar kota?" Malvin melemparkan pandangan ke seluruh ruang tamu.

"Enggak, udah pulang. Sekarang lagi ngampus."

Gia membawa sepatunya dan mengenakannya di ruang tamu. Tangan Gia berkali-kali mencoba mengikat tali sepatunya, tetapi tak kunjung berhasil. Ia mengernyit menatap tali sepatu kurang ajar itu.

Malvin yang disamping Gia turut memperhatikan hal itu. Ia tersenyum tipis. Dasar kekanakan, pikirnya. Tapi juga menggemaskan.

"Sini aku iketin. Kamu belum bisa juga ternyata."

Malvin mengambil alih tali sepatu Gia dan mengikatnya dengan gerakan cepat. Gia meringis, menyadari bahwa mengikat sepatu adalah hal yang mudah.

"Dari dulu ngikat sepatu gak bisa-bisa ya?" Tanya Malvin begitu selesai mengikat sepatu Gia yang kiri.

Gia mengangguk. Tapi setelahnya ia mendapat ide.

"Kamu tau dari mana aku gak bisa ngiket tali sepatu?"

Skak mat.

"Hah? Bukannya aku udah bilang. What's 'bout you that i don't know," balasnya. Malvin membuang wajahnya dan menghela napas.

Gia beroh ria. Ia sudah yakin bahwa jawaban Malvin akan sama seperti kemarin-kemarin. Jadi Gia coba memancing lagi.

"Kalau Sanjay, kamu kenal enggak?"

Malvin menoleh. "Sanjay?"

Gia mengangguk. "Aku pengen kamu jujur, Malvin." Gadis itu menatap lekat pada mata Malvin. Gia menemukan itu.

Helaan napas terdengar dari Malvin, cowok itu menutup matanya. "Sanjay udah mati, dia gak ada lagi. Dimanapun, bahkan kalau kamu cari dia di diri aku. Sanjay udah aku kubur," jelas Malvin.

"Jadi Sanjay itu kamu?"

"Iya, dia si Malvin yang sempurna." Malvin meyisir rambutnya kasar. Merasa tidak nyaman dengan pembicaraan mereka sekarang.

My MalvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang