Hari ini, hari sabtu, weekend bagi siswa-siawi harapan karena memang kebijakan sekolah mereka seperti itu. Libur di hari Sabtu dan masuk kembali di hari senin.
Suara rintik hujan terdengar, bau petricor menyeruak. Tetapi Gia masih betah dalam alam mimpinya.
Gadis dengan rambut digerai itu bahkan melupakan janjinya dengan Malvin. Tadi malam Malvin mengatakan jika mereka akan pergi bersama di hari sabtu.
Entah ada angin apa, semalaman Malvin berani menelponnya. Padahal biasanya cowok berhidung mancung itu hanya mengiriminya bualan lewat chat-chat tidak pentingnya.
Karena telponan semalaman itu pula—lah mata Gia masih berat sampai sekarang. Sebenarnya sambungan telepon sudah selesai setengah jam sebelum jam dua belas. Tetapi mata Gia baru bisa tertutup pukul setengah satu lebih.
Hal itu dapat terjadi karena Malvin yang menggombalinya, hingga berkali-kali wajah dan kata-kata Malvin yang terngiang di otaknya setiap memejamkan mata.Gia yang biasanya tidak perduli, perlahan-lahan berubah.
Sejujurnya Gia takut, takut ditinggalkan ketika cewek itu benar-benar jatuh. Dan, soal orang yang ditunggunya selama kurang lebih 3 tahun itu, Gia kira, mereka tidak akan bertemu lagi. Jadi sia-sia Gia menunggu, terlebih hatinya sudah beralih jalur. Sepertinya.
Dari semua kata-kata yang di ucapkan Malvin, yang paling Gia ingat adalah, "seganteng-gantengnya orang Korea, Gi. Jangan pernah mimpi jadi istrinya."
Saat itu Gia mengernyit, tidak paham. "Lah kenapa?"
"Kan kamu istri aku nanti." Malvin menjawab selepasnya cowok itu terkekeh.
Sementara, Gia menahan pipinya agar membuncahkan warna merah muda pudar. Malvin malah dengan entengnya tertawa.
"Kok diem? Emang aku sama orang korea, gantengan orang Korea?"tanyanya dari sebrang sana.
Gia mengangguk, meski sebenarnya tak ada efeknya bagi Malvin karena mereka tidak telepon bervideo. "Iya, kamu kalah ganteng."
"Iyadeh aku kalah ganteng, tapi yang di hati kamu kan aku," balasnya lagi.
Gia menggeleng. "Siapa yang ngomong begitu sama kamu?"
"Feeling aja."
Bibir Gia membentuk bulat. "Ooh," serunya.
Akhirnya percakapan keduanya berhenti beberapa detik tadi malam. Tetapi tak lama Malvin mengintrupsi keadaan lagi. "Gi," panggil Malvin.
"Udah jam 12 kurang 30 menit, tidur sana. Cewek itu gak boleh tidur lama-lama, Gi, nanti digangguin orang."
"Emang siapa?"
"Khusus kamu, aku."
Malvin terkekeh. "Udah ya, Gi, sleep tight!"
Belum Gia menjawab, Malvin sudah memutuskan sambungan telpon mereka. Lantas Gia mendesah, dari tadi ia juga sudah mau tidur. Ia ingin membiarkan Malvin mengoceh sendirian.
Namun, ketika percakapan mereka berdua berhenti. Ada rasa candu yang menjerat hati Gia, membuatnya ingin menunggu dan menunggu lagi suara Malvin terdengar.
Hingga setengah satu, Gia hanya menatap langit-langit kamarnya dan mengulang-ngulang kata-kata Malvin yang pernah diucapkan untuknya. Terbayang wajah Malvin dengan senyumannya. Senyuman yang kata Malvin, khusus untuknya Entah benar atau tidak, yang jelas saat dikatakannya begitu, Gia bersemu lagi.
OOO
Pukul 9. 30, Gia mengubah posisi tidurnya. Sedikit menguap dan mengacak—acak rambutnya hingga mengembang seperti singa. Untungnya Gia sudah melaksanakan kewajibannya sebelumnya, jadi dia tidak masalah bangun tidur sampai jam setengah sepuluh begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Malvin
Teen FictionCerita ini tentang masalalu Gia dan Malvin. Tetapi cerita ini juga tentang Gabrien yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada Gia. Lantas, akhirnya siapa yang sebenarnya akan bersama Gia? Keduanya pesaing hebat. Maju anti mu...