Setelah mengantar Gia pulang, seperti biasa Malvin mendorong motornya menuju rumah cowok itu yang hanya berjarak satu rumah bersebrangan dengan rumah Gia. Ia berpikir, itung-itung hemat bensin.
Ia memastikan pagar rumahnya terbuka, cowok tampan itu memasukkan motor sport—nya ke dalam pekarangan rumah. Diletakkannya helm—nya ditempat biasa cowok tinggi itu meletakkan helm.
Lalu Malvin masuk ke rumahnya dengan santai. Padahal ia baru pingsan di sekolah, tapi kini tubuhnya terlihat benar—benar fit.
"Malvin," panggil seseorang lembut.
Malvin yang melintasi ruang tengah harus mengurungkan niatnya untuk menuju ke kamar. Ia menghentikan langkahnya seraya menunggu seseorang yang memanggil dirinya datang.
"Pingsan di sekolah?"
Malvin mengangguk. "Iya, tapi bukan masalah."
Cowok itu melepas kancing kemejanya sehingga hanya menampakkan kaos putih dan duduk di sofa yang ada di ruang tengah.
"Sampai kapan kamu anggap ini sepele?"
Malvin mentap tak suka. "Dan sampai kapan mama mau nganggap ini terlalu serius? Aku gak suka, aku lebih suka mama dan papa kerja, Rana pergi."
Mata mamanya mulai berkaca-kaca. "Kamu mau kami gak tau kalo sampai kamu kenapa—kenapa? Kami biarin kamu, begitu?" Helaan napas terdengar dari Renata, wanita berumur 40 tahunan itu menahan sesak di dadanya.
Ia melanjutkan kalimatnya,"ada banyak orang yang butuh kasih sayang keluarganya, tapi kenapa kamu justru gak mau, sayang?" Tanya Rena tenang. Manik matanya mengobrak abrik netra anaknya.
Jika sudah melihat mamanya menangis. Malvin lemah, ia merasa bersalah. "Siapa yang gak mau kasih sayang, Ma? Aku mau disayangi tapi enggak dikasihani."
"Kami sayang kamu, Sanjay."
"Malvin, ma. Jangan Nama itu lagi," cicit Malvin memohon.
Malvin memegang tangan ibunya, menatap rindu pada Mamanya itu. "Banyak hal berubah gara-gara hal sepele kayak gitu. Banyak, ma. Di hidup Malvin semuanya berubah dan Malvin gak mau apa yang seharusnya dijalani keluarga ini juga berubah,"jelas Malvin.
Mamanya mengangguk lalu mendekati Malvin. "Mama sayang sama kamu." Rena pikir , apa yang ia sampaikan kepada Malvin yang trauma akan masalalunya sudah lebih dari cukup.
Ia harus mengalah sampai Malvin setuju dengan penawaran yang diberikan olehnya.
"Malvin juga, ma."
Mamanya menyeka air matanya. "Kalau begitu kamu harus mau ngejalanin semuanya."
Malvin memeluk mamanya dan mengusap air mata mamanya. Ia tersenyum, pada akhirnya ada yang membuatnya mau berjuang. Gia, dia sudah menemukan kembali gadis itu.
Bibir Malvin tersenyum. "Malvin pikirin."
Rena—mama Malvin—tersenyum mendengar keputusan Malvin. Setidaknya anaknya itu, tidak seperti dulu. Ia ingat bagaimana Malvin begitu pesimis,"kehidupan Sanjay udah terlalu sempurna, mungkin saatnya direnggut. Jadi gak perlu berjuang untuk apapun."
OOO
Malvin melempar asal tasnya di atas meja belajarnya. Lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur king size miliknya.
Cowok itu menatap langit-langit kamarnya dan mengingat kata-kata Gia sebelum.gadis itu meninggalkan UKS tadi. "Kamu harus cepet sembuh ya! Aku belajar dulu. Kata Rian, kamu gak suka cewek bego."
Itu artinya Gia memiliki perasaan yang sama dengan dirinya kan? Bukan begitu? Malvin tidak sedang halu kan saat mendengar kalimat itu. Malvin tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Malvin
Teen FictionCerita ini tentang masalalu Gia dan Malvin. Tetapi cerita ini juga tentang Gabrien yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada Gia. Lantas, akhirnya siapa yang sebenarnya akan bersama Gia? Keduanya pesaing hebat. Maju anti mu...