1891
Candra masih terlihat di ujung cakrawala ketika lengkingan tangis bayi terdengar dari dalam rumah bambu di ujung dusun Pasir.
"Alhamdulillah, murangkalih istri (anak perempuan)," ucap Mak Enci seraya tersenyum pada pemilik rumah.
"Alhamdulillah ...."
Sorot mata kebahagiaan terpancar dari mata Amat. Di awal hari ini telah lengkap kebahagiaannya. Enah, istrinya telah melahirkan seorang bayi perempuan dibantu Mak Enci, paraji (dukun beranak) di dusun mereka tinggal. Anak yang ditunggu setelah sekian lama menikah akhirnya dia dapatkan.
Mak Enci kembali ke dalam ruangan tempat Enah berada. Tak berselang lama, perempuan berumur itu mempersilahkan Amat untuk melihat bayi dan istrinya. Amat bergegas memasuki ruangan satu-satunya di rumah bambu beratap rumbia itu.
"Kang ...."
Lirih suara Enah memanggil Amat. Wajah perempuan itu terlihat lelah namun tak mampu menutupi kebahagiaan yang tampak dari sorot mata bulat itu.
"Alhamdulillah, Nyi, nuhun sudah melahirkan anak kita."
Amat tak mampu menyimpan keharuan yang menyelimuti hati. Dikecupnya kening Enah penuh kelembutan. Bayi perempuan merah yang terbaring di samping istrinya, dia angkat kemudian lelaki bertubuh tinggi itu mengalunkan azan di telinga mungil sang putri. Mata lelaki itu berembun. Harapan yang selama ini dia dan Enah pupuk, kini telah menjadi kenyataan. Sang Pencipta mengabulkan doa-doa mereka untuk memiliki keturunan.
***
Hari berlalu begitu menyenangkan bagi Amat dan Enah. Putri semata wayang yang mereka beri nama Euis telah berusia hampir lima bulan. Bayi mungil itu telah menampakkan sisi kelebihannya. Mata bulat dengan alis hitam berpadu indah di wajah Euis. Bibir melengkung dan pipi yang merona kemerahan membuat siapa pun yang memandang ingin mencubit gemas. Sesuai dengan makna namanya yang berarti cantik. Euis sejak dilahirkan adalah bayi yang manis. Jarang terdengar suara tangisan merajuk dari mulut mungilnya. Justru tawa renyah khas bayi selalu menghiasi hari-hari Amat dan Enah.
"Kang, besok jadi?" tanya Enah lembut pada suaminya.
"Jadi. Kang Oman ingin diantar," sahut Amat tersenyum seraya memandangi wajah Euis yang tertidur pulas.
"Hati-hati, ya, Kang, perasaanku tidak enak," ucap Enah lagi.
Penuh kelembutan Amat mengelus rambut istrinya. Menganggukkan kepala untuk memastikan Enah tidak perlu khawatir.
***
Hari masih gelap ketika Amat berpamitan pada sang istri. Hari ini dia telah berjanji mengantar Kang Oman, kakak lelakinya ke Bandoeng. Daerah yang terpisah jarak cukup jauh dari dusun tempat mereka tinggal. Enah melepas kepergian Amat dengan berat hati. Entah mengapa sejak kemarin, dia merasa tak tenang. Beberapa kali Amat memang meninggalkan dia untuk pergi ke daerah lain. Namun tak biasanya Enah merasa seperti yang dia rasakan kini.
"Hati-hati, Kang, kalau sudah selesai urusannya, cepat pulang, ya."
Amat mengangguk dan tersenyum pada Enah. Pandangannya beralih pada Euis yang masih tertidur pulas. Dengan lembut lelaki itu mencium kening putri kecilnya.
"Titip Euis, ya, Nyi, kalau sudah selesai semua urusan, Akang pasti segera pulang."
Disentuhnya lembut rambut Enah kemudian beranjak menuju pintu. Setelah mengucap salam, lelaki itu menutup pintu meninggalkan rumah. Enah bergegas mengunci pintu dan segera mendekati Euis karena dia mendengar suara bayinya itu terbangun.
***
Tiga hari sudah Amat pergi. Biasanya perjalanan ke Bandoeng membutuhkan waktu sekitar tiga hingga empat hari dari dusun Pasir. Untuk menuju ke daerah lain, penduduk harus melewati hutan lebat. Karena memang dusun mereka terpencil. Itu sebabnya tak ada seorang pun yang meninggalkan dusun itu sendirian. Paling sedikit berdua saat akan melakukan perjalanan ke luar dusun.
Hati Enah masih merasa tak tenang. Dia mengkhawatirkan Amat. Meskipun sudah berusaha menepis perasaan tak nyaman itu. Namun, kekhawatiran terus menghantui hati. Selama kepergian sang suami, ibunya menemani kala malam. Lazimnya masyarakat saat itu, mereka hidup bersama dalam satu dusun dan masih terikat hubungan persaudaraan. Sangat jarang yang keluar dari dusun terkecuali untuk urusan tertentu.
Enah hendak memasak ketika terdengar suara Uwa Aam di luar rumah memanggilnya. Bergegas perempuan itu membuka pintu. Terlihat di depannya seorang lelaki paruh baya yang memandang Enah penuh siratan kesedihan seraya berucap,
"Nyi, nu sabar nya' (yang sabar, ya)."
"Ada apa, Wa?" tanya Enah kebingungan.
"Amat, suamimu ...."
"Kenapa Kang Amat, Wa?"
Jawaban Uwa Aam berikutnya mengaburkan pandangan Enah. Tubuhnya melemah dan perempuan itu tak sadarkan diri.
***
Enah membuka mata pelan. Samar dia melihat wajah ibunya menyiratkan kesedihan.
"Mak ...." Lirih Enah memanggil sang ibu.
"Nyi, alhamdulillah tos sadar. Nu sabar nya'."
Kalimat yang keluar dari bibir ibunya menyadarkan Enah apa yang terjadi. Dengan cepat dia bangun. Berusaha memahami apa yang terjadi. Yang dia ingat Uwa Aam menyampaikan kabar tentang Amat, suami tercintanya.
"Kang Amat, Mak ... kumaha?" (bagaimana?)
Tanya itu meluncur dari mulut Enah. Sang ibu tak kuasa menahan air mata meskipun telah berusaha sekuat tenaga. Dengan penuh kesedihan dipeluknya tubuh putrinya itu.
"Nu sabar, Geulis." (yang sabar, Cantik)
Ucapan sang ibu membuat pertahanan Enah bobol. Tangisan keras menghiasi rumah itu. Perempuan itu belum paham sepenuhnya apa yang terjadi. Yang dia tahu, hari itu dia telah kehilangan Amat, suami tercintanya.
Semua hal yang terjadi berikutnya tak mampu Enah lalui. Berulang kali perempuan itu tak sadarkan diri. Ketika jasad Amat hendak dimasukkan ke liang lahat, Enah menangis histeris dan pingsan. Kehilangan suami secara mendadak membuat perempuan itu limbung. Dia tak bisa mempercayai harus kehilangan suami di saat kebahagiaan menyelimuti hidup mereka.
***
Hari-hari berlalu sangat lambat bagi Enah. Rasanya tak lagi sama semenjak suaminya tiada. Dia masih belum bisa menerima rasa kehilangan itu. Kabar yang dia dengar, Amat dan Kang Oman meninggal karena dihajar perampok yang mencegat mereka ketika hendak kembali ke dusun. Kakak beradik itu ditemukan tewas oleh penduduk di hutan dekat batas desa. Kepedihan yang dirasakan Enah juga dirasakan keluarga suaminya. Yang harus kehilangan dua anak lelakinya saat bersamaan.
Enah berusaha sekuat tenaga untuk menguatkan hati. Dia teringat akan Euis, putrinya yang masih membutuhkan dirinya. Semenjak kepergian Amat, seakan Euis paham bahwa dia telah kehilangan sang ayah. Gelisah saat tidur dan sering menangis. Seakan mencari ayahnya yang tak akan mungkin kembali.
Waktu terus bergulir. Kehidupan Enah berubah seratus delapan puluh derajat. Sebelumnya, Amat yang menjadi tulang punggung keluarga. Kini, hal itu menjadi tugas Enah. Dengan kemampuan yang dimiliki, dia menjadi buruh tani. Tak mungkin dia membiarkan ibu dan Euis kelaparan. Enah tak memiliki saudara kandung. Hanya sang ibu yang menemani mereka. Enah menitipkan Euis pada ibunya saat harus mengolah tanah pemilik lahan. Kehidupan yang sebelumnya indah, kini hancur berkeping-keping setelah kepergian Amat.
***
#sarina #bab1part1 #najmubooks #apnb2021 #fiksisejarah #historicalfiction #kisahnyai #gundik #nyaitentaraHindiaBelanda #kisahfiksisejarah #historyfiction
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?