BAB VII Part 1 Kau, di Mata dan Hatiku

234 31 4
                                    

Jansen memberikan penghormatan terakhir bersama para tentara lainnya, sebelum peti kayu berisi jenazah Obie dimasukkan liang lahat. Mata lelaki itu memerah. Berusaha sekuat tenaga supaya air matanya tidak tumpah. Sedikit demi sedikit peti mati itu mulai diturunkan. Hingga menyentuh tanah.

Segenggam tanah Jansen jatuhkan pada tutup peti mati itu. Diikuti beberapa temannya. Sebelum tanah mulai dimasukkan untuk menimbun peti dan liang lahat. Perlahan peti kayu itu tak terlihat. Dan akhirnya liang lahat tertutup sudah. Berganti dengan gundukan tanah di mana tertancap palang kayu bertuliskan Obie Van Dijk.

Hidup memang penuh misteri. Siapa sangka, jasad Obie harus dikubur di kerkhof di Bandoeng ini. Tanah yang jauh dari tanah kelahirannya. Tanah asing yang tak ingin Obie tinggali. Meskipun bertahun-tahun sudah berada di Bandoeng. Namun, sahabatnya itu tetap lebih cinta salju daripada sinar matahari tropis.

Obie dimakamkan di antara beberapa nisan yang telah ada sebelumnya. Semua berjajar rapi. Rumput-tumput yang tumbuh pun dipangkas. Suasana di kerkhof itu terasa begitu tenang. Pemakaman Obie selesai sudah. Mereka mulai bersiap kembali ke tangsi. Jansen mengusap palang kayu itu beberapa kali dan berucap perlahan,

“Beristirahatlah dengan tenang sekarang, Obie … ik akan meriundukan keceriaanmu.”

Lelaki itu pun melangkahkan kakinya pelan di atas rerumputan hijau yang terasa lembut kala diinjak. Mengikuti langkah teman-teman tentaranya. Hidup Jansen kini tak akan sama lagi tanpa Obie.

***

Jansen duduk di atas bangku kayu di kapel tangsinya. Kedua tangannya saling menggenggam. Dengan khusuk dia berdoa. Beberapa saat berlalu. Lelaki berseragam tentara itu kemudian berdiri dan meninggalkan kapel di mana dia memang sering berdoa.

“Tuan, sudah kembali?” tanya Euis kala melihat Jansen.

Lelaki itu mengangguk. Euis bisa melihat mata sayu sang tuan. Esok adalah natal. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Natal kali ini akan terasa sangat berbeda bagi Jansen. Tak ada lagi Obie yang selalu hadir dengan keceriaannya. 

Keesokan harinya, setelah mengikuti misa natal. Jansen telah bersimpuh di samping pusara Obie. Palang kayu penanda pusara telah diganti dengan palang tembok bertuliskan nama sahabatnya, Obie Van Dijk.

Mata Jansen tertutup rapat. Kedua tangannya saling menggenggam. Lelaki itu sangat khusuk berdoa. Sang bayu bertiup lembut membelai rambut coklat Jansen. Sangat kental terasa keheningan melingkupi kerkhof itu.

“Obie, apa kabar? Pastikan jij baik-baik di sana,” ucap Jansen lirih kemudian melanjutkan kalimatnya, “natal kali tak sama seperti natal sebelumnya, jij tak ada lagi. Kita biasa makan kue enak dan minum sedikit saat malam.”

Jansen terdiam sesaat. Samar dia melihat pusara Obie. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Jansen mengejap-kejapkan mata. Berusaha supaya air matanya tidak tumpah. Tangan kanannya memegang palang nama Obie kemudian berkata,

“Olies, sarina-mu telah pergi dari tangsi. Tampaknya dia tak sanggup menanggung kesedihan karena kepergianmu.”

Jansen menarik napas panjang dan kembali berucap,

“Sama sepertiku, andai bisa ik pun ingin pergi dari tangsi. Tiada kawan lagi yang akan menggodaku. Tak akan kudengar lagi kekehan tawamu. Jij pun pergi sebelum menepati janji untuk picknick setelah natal.”

Tanpa disadari, bulir air mata membasahi pipi lelaki itu. Ketika menyadari rasa hangat yang memenuhi pipinya, dengan cepat dia mengusap air mata itu.

“Ik tak boleh menangis. Jij pasti sedih melihat ik menangis, kan?”

Jansen mencoba tersenyum dengan mata basah. Beberapa saat dia menghabiskan waktu di pusara Obie. Menikmati kebersamaan natal bersama sahabatnya itu. Meskipun kini telah berbeda dunia. Angin yang bertiup mulai terasa dingin kala Jansen meninggalkan kerkhof di batas kota Bandoeng itu.

Sesampainya di tangsi, kemeriahan natal masih terasa. Beberapa tentara saling berbagi kue-kue natal dan makanan lain. Mereka pun memberikan beberapa potong kue dan menu natal itu pada Jansen.

Mereka tetap berusaha merayakan meskipun jauh dari negara asal. Kesyahduan natal tetap ingin mereka rasakan, meskipun tak bersama sanak saudara. Saat ini Hindia Belanda adalah tempat satu-satunya untuk merayakan natal. Sampai tiba saatnya bagi mereka untuk kembali pulang.

Diam-diam Euis memperhatikan Jansen, yang sedang menatap aneka tingkah polah teman-temannya. Meskipun bibir tipis lelaki itu tersenyum, namun perempuan itu tahu, kesedihan masih menggayut di hati sang tuan. Mata Jansen yang memerah telah mengungkap apa yang dirasakan oleh lelaki itu.

“Aku akan berusaha membuatmu kembali tersenyum, Tuan,” gumam Euis.

***

1 Januari 1910

Pagi itu terasa hangat meskipun tanah masih basah. Sisa hujan semalam memang masih terlihat. Namun, sinar mentari yang mengintip memudarkan kabut yang menyelimuti pagi itu. Jansen telah berpakaian rapi dengan baju terbaik yang dia punya. Matanya tajam mengedarkan pandang .Menatap ke seluruh ruangan bercat putih di mana dia tinggal beberapa tahun ini.

Mata kelabu itu tertumbuk pada ranjang yang terpisah tiga ranjang dari ranjang Jansen. Di situlah Obie tinggal dulu. Pagi di awal tahun seperti ini, biasanya Obie akan mengajaknya berjalan-jalann ke aloon-aloon yang berada di pusat kota. Kemudian menikmati makanan dan minuman yang sungguh menggugah selera di Pasar Baroeweg. Jansen menghela napas dalam. Kini, tak akan bisa dia rasakan suasana tahun baru seperti ketika masih ada.

“Makan pagi sudah siap, Tuan.”

Suara Euis menyadarkan Jansen. Kepalanya mengangguk. Sigap, Euis menyiapkan makan pagi untuk sang tuan. Kali ini sup kacang merah ditemani perkedel kentang menjadi menu makan pagi mereka.

Jansen menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut. Indra perasanya memang tak pernah berdusta. Masakan Euis selalu dia suka. Lelaki itu menatap perempuan yang duduk di depannya. Tiba-tiba terlintas sebuah ide.

Mengapa tak menghabiskan hari ini dengan Euis saja? batin Jansen.

Segera dia menghabiskan menu makan pagi yang masih ada di piring. Setelah sebelumnya piring itu penuh, kini telah licin tandas.

“Masakan jij selalu enak,” puji Jansen tersenyum kemudian berkata lagi, “bagaiamana kalau hari ini kita ke aloon-aloon?”

“Terima kasih, Tuan,” sahut Euis ikut tersenyum, “ke aloon-aloon? Tentu saja saya mau.”

Setelah merapikan bekas makan pagi dan membereskan beberapa hal. Jansen dan Euis melangkah meninggalkan tangsi menuju pusat kota Bandoeng.

***

-bersambung-

#sarina #bab7part1 #apnb #najmubooks #fiksisejarah #fiction #historicalfiction #history #tentara #nyai #gundik #fiksi #lovestory #nyaibelanda #pergundikan

SarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang