BAB IX Part 1 Teja

200 27 7
                                    

Lelaki dengan baju bedahan yang membalut tubuh tegapnya melangkah memasuki sebuah tempat makan di Pasar Baroeweg. Tak akan ada yang membantah kalau lelaki itu terlihat gagah.

"Mangga, Kang Teja, bade tuang naon?" (Silahkan, Kang Teja, ingin makan apa?)

Suara Nyi Entin, pemilik tempat makan itu terdengar mendayu. Lelaki bernama Teja itu tersenyum. Dia memang terbiasa makan di tempat ini sejak dahulu. Masakan Nyi Entin terasa sangat pas di indra pengecapnya.

"Kang Teja makin gagah saja." Nyi Entin memuji salah satu pelanggan setianya itu kemudian berkata lagi, "Bener kan, Kom?"

Kokom, perempuan yang membantu Nyi Entin di tempat makan itu mengangguk sembari menyahut,

"Muhun, Ceu." (iya, kak)

Mata Teja berbinar mendengar pujian Nyi Entin dan Kokom. Reflek tangannya membetulkan bengker yang menutup kepalanya. Penampilan Teja memang selalu rapi. Meskipun kondisi perekonomian keluarganya tak seperti dulu. Namun, kebiasaan Teja untuk berpenampilan perlente tak pernah hilang.

"Seperti biasa saja, Nyi," ucap Teja tersenyum.

Nyi Entin sudah hafal menu kesukaan pelanggannya yang satu ini. Nasi putih yang dibanjur (disiram) sayur ase cabe, ikan tawes goreng dan sambal dadak beserta lalapan.

Segera perempuan yang berusia mendekati tiga puluh tahunan itu menyiapkan pesanan Teja. Setelah siap kemudian meminta Kokom untuk mengantarkan pesanan itu ke meja di mana Teja berada.

Lelaki itu segera menyantap menu yang terhidang di depannya. Siapa pun yang melihat akan menyadari kalau lelaki itu sangat menikmati makanannya. Suapan demi suapan yang dia masukkan ke dalam mulut sangat dinikmati.

"Kang Teja seperti yang lapar sekali ya, Ceu?" Kokom berbisik di dekat Nyi Entin.

"Sstt ... tong gandeng, bisi kadenge' Kang Teja," (jangan berisik, barangkali terdengar Kang Teja) sahut Nyi Entin.

Kokom segera menutup mulutnya. Beranjak melayani pelanggan-pelanggan yang berdatangan ke warung makan itu. Nyi Entin menatap Teja yang masih menikmati makanannya. Sebelum kembali melayani para pelanggannya.

"Terima kasih, Kang Teja, ditunggu kedatangan berikutnya," ucap Nyi Entin tersenyum ketika Teja membayar makanan yang dipesan.

Lelaki itu membalas senyuman Nyi Entin dan melangkahkan kakinya yang terbalut kain kebat menuju pintu keluar. Pasar Baroeweg padat sekali siang itu. Delman, sepeda dan lalu lalang pengunjung memenuhi jalan tanah yang dikeraskan di hadapan Teja.

Lelaki bertubuh tinggi itu melangkah menuju tempat di mana dia biasa bersua dengan kawan-kawannya. Salah satu jalan di dekat Pasar Baroeweg. Tempat di mana para saudagar berkumpul.

"Kang Teja, mangga kalebet." (Kang Teja, silahkan ke dalam)

Salah satu temannya mempersilahkan Teja untuk memasuki sebuah rumah kayu di pinggir jalan kecil itu. Teja mengangguk dan memasuki rumah itu. Terus melangkah hingga langkahnya terhenti kala melihat apa yang terjadi di depannya.

Beberapa lelaki duduk melingkar di atas sebuah tikar pandan yang dijadikan alas. Mereka asyik dengan apa yang mereka mainkan. Kartu-kartu yang dipegang saling dilempar ke tikar kala mendapat giliran. Wajah para lelaki itu beragam. Ada yang tersenyum simpul. Ada yang sedikit cemberut. Ada pula yang tertawa. Permainan yang telah ada berabad-abad sebelumnya. Judi.

"Kang, mangga ...."

Seorang lelaki mempersilahkan Teja untuk bergabung dalam permainan itu. Tangan Teja memberikan isyarat menolak. Dia memilih untuk duduk di salah satu sudut ruangan sembari memerhatikan para lelaki yang asyik bermain.

SarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang