"Neng, tos obok?"(sudah tidur?) Suara lembut Uwa Euncih terdengar di depan pintu kamar Euis.
Sigap Euis membuka pintu kamar dan berucap,
"Teu acan, Wa." (belum tidur)
"Ada yang ingin Uwa bicarakan dengan Neng," ujar Uwa Euncih tersenyum.
Euis mempersilahkan Uwa Euncih masuk. Majikannya duduk di atas tikar pandan yang menutupi lantai ruangan itu.
"Kieu (begini), Neng. Siang tadi ada yang bertanya pada Uwa tentangmu. Tuan walanda nu biasa ngopi tea. Sigana hoyong (sepertinya mau) ka Euis."
Kalimat yang terucap dari bibir Uwa Euncih membuat Euis terdiam. Dia tak menduganya.
"Terserah Euis mau atau tidak. Uwa mah teu maksa." (Uwa sih enggak maksa)
Ucapan Uwa Euncih membuat Euis makin terdiam. Kepala mungil itu menunduk dalam-dalam. Dia tahu beberapa kali ada tentara yang menggodanya. Namun, dia tak menyangka ada yang tertarik pada dirinya.
"Kalau Neng mau, berarti ikut ke tangsi, enggak mau ya enggak apa-apa. Bantu-bantu Uwa aja," kata Uwa Euncih tersernyum kemudian melanjutkan, "itu saja yang ingin Uwa bicarakan, hayu bobok."
Uwa Euncih berdiri dan melangkah dengan gemulai ke luar ruangan. Euis menutup pintu setelah majikannya menghilang dari pandangan. Tubuh langsing itu rebah di atas kasur jerami yang menjadi alas tidur. Mata bulat perempuan itu nanar menatap batang bambu yang menjadi penahan atap. Pikirannya menerawang. Memikirkan ucapan Uwa Euncih.
Dia merasakan perasaannya campur aduk. Antara takut, khawatir dan penasaran. Sudah hampir setahun dia tinggal bersama Uwa Euncih. Namun, yang dirasakan olehnya kehidupan yang dijalani tak mengalami perubahan. Euis mulai bosan hidup dalam kemiskinan. Dia ingin ke luar dari kubangan kemiskinan ini.
Apa hidupku bisa membaik kalau bersama lelaki itu? Euis membatin.
Dia mengubah posisi tubuh miring ke kanan. Telapak tangan kanannya menopang pipi kemerahan itu. Hati kecilnya terus bertanya-tanya. Euis tak bisa memejamkan mata. Namun, teringat esok harus bangun membantu memasak, perempuan itu berusaha untuk rehat hingga akhirnya tertidur.
***
Pikiran Euis tak tenang. Dia masih memikirkan ucapan Uwa Euncih tentang ketertarikan salah seorang tentara kolonial padanya. Perempuan itu dalam kebimbangan untuk menentukan keputusan. Satu sisi dia ingin tetap tinggal bersama Uwa Euncih yang baik. Namun, di sisi lain Euis ingin memiliki masa depan yang lebih baik. Tidak hanya terkurung dalam dapur dan tempat makan ini. Ingin rasanya dia memiliki kehidupan yang lebih baik secara ekonomi.
Apa yang harus kulakukan? Tanya itu terus bergaung dalam batinnya.
Perempuan itu menjadi lebih diam dari biasanya. Uwa Euncih bisa melihat perubahan dalam diri Euis. Kala malam menjelang, Uwa Euncih memanggil Euis untuk berbicara dengannya.
"Uwa perhatikan Neng seperti ada pikiran, apa omongan Uwa kemarin yang menjadi pikiran?"
Kepala mungil Euis mengangguk. Dia memang tak bisa membohongi majikannya itu.
"Seperti yang sudah Uwa bilang, kalau memang Neng Euis enggak mau ya enggak apa-apa," Uwa Euncih memandang perempuan yang duduk di depannya sembari tersenyum, "jangan khawatir, Uwa tidak akan marah."
Euis mendongak dan memberanikan diri menatap mata Uwa Euncih kemudian berucap,
"Abdi bingung kedah kumaha? (saya bingung harus bagaimana) Punten (maaf) bukannya saya tidak mensyukuri hidup bersama Uwa, betah rasanya tinggal di sini, tapi apa boleh saya berjuang untuk mendapatkan hidup seperti yang saya inginkan?"
Kelembutan tersirat dari sorot mata Uwa Euncih, dia memahami apa yang ada di pikiran Euis. Perempuan muda ini memiliki harapan sama seperti yang perrnah dia miliki berpuluh tahun lalu kala seusia Euis. Senyum menghiasi bibir Uwa Euncih yang berwarna merah jambu. Dengan lembut diusapnya rambut perempuan muda itu sebelum berkata,
"Uwa menyerahkan keputusan ke Neng, tapi sebelumnya biarkan Uwa bercerita tentang diri ini padamu."
Kalimat demi kalimat mengalir dari bibir Uwa Euncih. Berkisah tentang masa lalu perempuan paruh baya itu. Kehidupannya sebagai seorang pelayan yang kemudian diambil oleh seorang tentara untuk menjadikannya nyai. Kehidupan nyai yang tak selalu menyenangkan. Tak memiliki hak atas anak-anak yang dilahirkan. Maupun hak untuk menentukan hidupnya.
"Meskipun tuan Uwa tidak menikahi tapi sebelum dia kembali ke negaranya, lelaki itu berbaik hati membiarkan Uwa membawa perhiasan dan uang yang pernah dia berikan pada Uwa."
Mata Uwa Euncih menerawang sejenak kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Dari perhiasan dan uang itulah Uwa membuat tempat makan ini dan bisa hidup tanpa harus meminta belas kasihan orang lain."
Air mata tiba-tiba menggenang di mata Uwa Euncih.
"Kau tahu setelah menjadi nyai Walanda (Belanda) hidup perempuan seperti Uwa tak pernah sama lagi. Dianggap kotor oleh masyarakat kita sendiri. Tak diterima apapun alasannya. Apa Neng bisa menjalani hidup seperti itu?"
Euis terdiam. Dia berusaha mencerna semua kalimat Uwa Euncih. Ada rasa khawatir menyelusup dalam jiwa. Namun, perasaan ingin memiliki kehidupan yang lebih baik juga menguat dalam sanubarinya.
"Kalau kata Uwa sebaiknya Neng pikirkan dengan matang. Sekali sudah memilih, tak ada lagi jalan untuk kembali," ujar Uwa Euncih penuh kelembutan.
Perempuan itu mengelus kembali rambut hitam Euis. Entah mengapa sejak awal bersua dia merasa menyayangi perempuan muda itu. Sosok Euis mengingatkan Uwa Euncih akan putrinya yang tak pernah lagi dia lihat sejak sang tuan membawanya ke Holland. Dia bisa mengira-ngira usia Euis sepantar dengan usia putrinya.
" Nanti kalau memang dirimu sudah memutuskan, beritahu Uwa, ya," ucap Uwa Euncih lagi.
Euis menganggukkan kepalanya. Setelah Uwa Euncih meminta Euis rehat, perempuan muda itu melangkah ke tempatnya melepas lelah. Meninggalkan Uwa Euncih yang masih duduk dengan mata menerawang. Mengingat potongan kenangan masa lalu yang berkelebat dalam ingatan.
***
Bulan mulai menampakkan diri di langit malam. Euis melangkah mendekati Uwa Euncih.
"Wa, saya sudah mengambil keputusan. Apa bisa mengatakan pada Uwa sekarang?" tanya Euis seraya menundukkan kepalanya.
"Iya atuh, Neng, bilang saja," sahut Uwa Euncih tersernyum.
"Saya ... saya ...."
Terbata-bata Euis berucap. Perempuan berambut hitam legam itu berusaha menahan hatinya yang berdebar. Dihelanya napas panjang sebelum berkata,
"Saya ... bersedia bertemu dengan lelaki itu, Wa."
Euis mengembuskan napas lega seakan beban berat terangkat dari dadanya. Dia berharap Uwa Euncih bisa menerima keputusan yang telah dia buat. Dilihatnya majikannya itu tersenyum seraya berucap,
"Sudah dipikirkan benar-benar, ya? Kalau memang sudah, besok Uwa akan bicara dengannya, semoga dia datang besok."
Euis mengiyakan ucapan Uwa Euncih. Dia telah berpikir dan memutuskan. Berharap keputusannya itu adalah hal terbaik yang telah dipilih untuk kehidupannya di masa depan. Tanpa ragu kepala Euis mengangguk dan membalas senyum Uwa Euncih.
***
-bersambung-
#sarina #bab3part1 #apnb #najmubooks
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?