Suara besi yang beradu terdengar jelas ketika lokomotif berhenti di tujuan akhir perjalanan para penumpang. Stasiun Bandoeng. Uwa Ero memberikan isyarat pada Euis untuk mengikuti langkah kaki leklaki bertubuh gempal itu. Setelah turun dari gerbong yang ditumpangi, Uwa Ero terus melangkah menuju pintu keluar.
Seperti sebelumnya, kali ini rasa takjub Euis makin berlipat ganda kala melihat bangunan yang megah di hadapan. Tiang-tiang besi menopang atap yang terlihat sangat kokoh. Tembok bangunan stasiun yang tebal berhias kaca-kaca patri beraneka warna. Lalu lalang orang berpakaian necis dengan desain baju yang belum pernah dia lihat di desa tempat tinggalnya membuat gadis itu makin terkagum-kagum.
“Neng, hayu.”
Suara Uwa Ero menyadarkan Euis dan bergegas mengikuti. Mereka ke luar dari stasiun dan Uwa Ero mengajak gadis itu menuju ke salah satu delman yang sedang menanti penumpang. Setelah tawar menawar harga dengan sang kusir. Delman itu membawa Euis dan Uwa Ero ke tujuan.
Sepanjang perjalanan, Euis melihat suasana kota yang sangat jauh berbeda dengan desa uwanya. Bangunan-bangunan tembok berdiri dengan gagah. Delman-delman yang mengangkut penumpang berlalu lalang. Penumpang-penumpang berwajah Eropa terlihat menikmati perjalanan dengan delmannya. Keramaian pasar juga membuat Euis makin takjub. Dia sungguh kagum dengan daerah yang dia datangi. Perjalanan mereka makin menjauh dari stasiun. Hingga akhirnya delman itu berhenti di depan sebuah tempat makan yang tampak sangat ramai.
Setelah membayar ongkos delman, Uwa Ero memberi isyarat pada Euis untuk turun dan mengikutinya. Mereka memasuki tempat makan itu. Meja panjang dan kursi panjang berbahan kayu jati menyambut kedatangan mereka. Beberapa meja kecil dan kursi terlihat di beberapa sudut ruangan. Stoples-stoples kaca tampak berjajar rapi di atas meja panjang di satu sisi ruangan. Aneka makanan tampak mengisi stoples yang ditata semenarik mungkin. Uwa Ero mendekati meja panjang itu dan tersenyum pada perempuan di balik stoples-stoples itu.
“Kang Ero, tos dugi?” (Kang Ero, sudah datang?)
Uwa Ero menganggukkan kepalanya yang berhias iket (ikat kepala khas Sunda) seraya menyahut,
“Muhun, Teh.” (iya, Teh)
Perempuan itu mengajak Uwa Ero ke salah satu kursi kayu di sudut ruangan. Mereka berbincang sekejap sebelum Uwa Ero memanggil dan memperkenalkan Euis yang berdiri menanti.
“Teh, ini Euis.”
Perempuan di depan Uwa Ero itu menatap Euis dengan saksama.Memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian menganggukkan kepala tanda menyetujui.
“Neng, ini Uwa Encih, mulai hari ini Neng bantu-bantu Uwa Encih, ya,” ucap Uwa Ero.
Euis menganggukkan kepala pelan sembari berusaha memahami maksud lelaki itu.
“Neng Euis nanti tinggal dengan Uwa. Di belakang itu rumah Uwa. Bantu-bantu Uwa jualan, bisa?”
Suara perempuan bernama Uwa Encih itu mengalun begitu merdu di telinga Euis. Uwa Encih bertubuh tinggi. Kebaya putih yang dipakai membalut tubuhnya yang langsing. Euis memperkirakan usia Uwa Encih di akhir usia tiga puluh tahunan. Rambut hitam yang digelung sangat rapi menandakan perempuan itu sangat pandai merawat diri.
“Bisa, Wa, bisa ….” Euis terbata menjawab.
“Sebentar, Neng, tunggu di sini, ya.”
Uwa Encih meminta Euis duduk di kursi kayu itu kemudian memberi isyarat pada Uwa Ero untuk mengikutinya. Mereka berjalan menuju meja berisi stoples-stoples itu. Kemudian tampak Uwa Encih memberikan bungkusan kain kecil pada Uwa Ero. Lelaki itu menerima lantas membuka bungkusan kain di tangannya dan dengan cepat menutup kembali setelah memeriksa isinya. Uwa Ero kemudian menghampiri Euis dan berkata,
“Neng, Uwa tinggal di sini, ya. Kerja yang baik dengan Uwa Encih.”
Euis menatap lelaki itu kebingungan. Namun, dengan cepat otaknya memahami bahwa dia telah diberikan pada perempuan pemilik tempat makan itu. Dengan lemah kepalanya mengangguk. Uwa Ero kemudian berpamitan pada Uwa Encih. Melangkahkan kakinya meninggalkan Euis yang hanya mampu menatap punggung lelaki itu.
“Neng, hayu ikut Uwa, istirahat sajalah dulu, pasti capek, kan?”
Uwa Encih kemudian memberi isyarat pada Euis untuk mengikutinya. Mereka melangkah menuju belakang tempat makan itu. Tampak oleh gadis itu, sebuah bangunan dengan dinding setengah tembok dan setengah lainnya terbuat dari kulit bambu yang dianyam, berdiri dengan kokoh. Beratap genteng tanah liat dan memiliki beberapa jendela serta pintu berbahan kayu jati. Uwa Encih membuka pintu kemudian mengajak Euis masuk ke salah satu ruangan dalam rumah itu.
“Neng, tinggal di kamar ini. Istirahat saja sekarang, bangun besok pagi baru bantu Uwa masak. Kalau ingin bersihkan badan ke sumur di belakang, ya.”
Kalimat yang meluncur dari bibir perempuan itu menyiratkan apa yang harus Euis lakukan. Gadis itu mengangguk. Uwa Encih kemudian meninggalkan Euis untuk beristirahat. Gadis muda itu meletakkan bungkusan pakaiannya di lantai beralas tikar pandan. Di atas tikar itu terdapat kasur berisi jerami. Kala itu tak semua orang memiliki kasur berisi kapuk. Hamya orang-orang tertentu yang memilikinya. Ruangan tidur Euis tak besar. Hanya berisi kasur saja. Euis melangkah ke luar ruangan itu. Dia ingin membersihkan diri kemudian rehat.
***
Pagi masih gelap namun Euis telah siap membantu Uwa Encih memasak. Kepulan asap dari tungku yang menyala menghangatkan tubuh gadis itu. Dengan cekatan dia mengerjakan apa yang diperintahkan Uwa Encih. Memotong-motong sayur. Membersihkan ikan. Mencuci beras kemudian memasaknya. Hal itu sudah biasa Euis lakukan di desa uwanya. Hanya kali ini banyak menu masakan yang tidak Euis tahu. Dengan cepat gadis itu mempelajari semua perintah Uwa Encih. Selepas salat Subuh, gadis itu menata semua makanan di meja seperti yang diperintahkan padanya. Uwa Encih memiliki dua orang perempuan lain yang membantunya. Euis menduga usia mereka di bawah usia Uwa Encih sedikit.
Setelah dirasa siap, Uwa Encih segera membuka pintu tempat makannya dan siap menyambut para pelanggan. Pembeli mulai berdatangan. Para lelaki yang ingin meminum kopi ditemani udara pagi Bandoeng yang dingin. Kabut tampak masih menyelimuti jalan di depan tempat makan itu. Lalu lalang para pembeli membuat tempat makan itu tak pernah sepi. Euis mengerjakan semua apa yang diperintahkan padanya.
“Neng, makan pagi dulu dengan yang lain, sudah disiapkan di belakang, nanti kalau sudah selesai baru bantu lagi.”
Euis mengangguk kemudian melangkah menuju dapur rumah Uwa Encih. Di sana dilihatnya dua perempuan yang membantu Uwa Encih juga bersiap makan pagi. Euis menaruh nasi di atas daun pisang alas makannya. Diambilnya sepotong ikan goreng beserta sambal dan sayur penyerta. Begitu juga dua perempuan itu. Mereka makan dengan cepat kemudian kembali dengan aktivitasnya lagi. Euis kembali membantu Uwa Encih hingga menjelang matahari meninggi.
***
#sarina #bab2part1 #apnb2021 #najmubooks
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Fiksi SejarahKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?