Halimun masih tebal menyelimuti bumi. Dingin menyeruak ke dalam barak. Membuat siapapun ingin terus bergelung dalam hangatnya selimut. Menikmati kehangatan yang menyenangkan. Hampir semua penghuni barak masih terlelap. Namun tidak dengan Euis.
Semalaman dia tidak bisa tidur. Pipi halusnya basah. Tangan gempal melilit perut perempuan itu. Dengkuran keras terdengar setiap lelaki pemilik tangan itu bernapas. Dada telanjang yang dipenuhi bulu pirang itu terlihat naik turun. Tampaknya lelaki yang berbaring di samping Euis tak terganggu dengan udara pagi yang dingin.
Semalam adalah malam yang tak akan terlupakan dalam hidup Euis. Malam jahanam yang membuat hidup perempuan itu hancur lebur tak bersisa. Kehidupan sebagai seorang sarina memang telah dipilihnya. Namun, bayangan kehidupan yang lebih baik kini hilang bak mega tersaput angin. Lelaki bertubuh gempal itu telah merenggut mimpi Euis tanpa belas kasih.
Perempuan langsing itu tak bisa bergerak. Tangan gempal itu masih memeluk tubuh Euis yang hanya tertutup selimut. Napas berbau alkohol. Dengkuran keras bak peluit kereta. Dan semua yang terjadi semalam membuat perut perempuan itu mual. Namun, dia harus menahan rasa itu sendirian. Buliran air mata masih membasahi pipinya. Air mata itu menjadi saksi tentang apa yang dirasakan hati Euis.
***
“Jij … bisa membuat ik senang ternyata,” ucap lelaki itu tersenyum menyeringai.
Kala mendengar kalimat lelaki itu, hati Euis menjerit. Dengan cepat dipakainya kebaya dan samping bermotif bunga. Membenahi rambutnya yang berantakan.
“Mulai tadi malam, kau milikku!”
Tersirat rasa kemenangan dalam suara itu dan Euis hanya mampu mengangguk tanpa daya. Kakinya melangkah menuju cai sebutan kamar mandi dalam bahasa Sunda. Dia ingin membersihkan tubuh setelah apa yang terjadi semalam.
Semua berjalan seperti biasa. Kesibukan barak mulai menggeliat. Para sarina mulai menyiapkan makan pagi untuk tuannya. Mereka juga menyiapkan perlengkapan sang tuan denga sigap. Yang terjadi semalam pada diri Euis sama sekali tak berbekas pada ingatan penghuni barak. Mereka seakan tak peduli akan kesakitan perempuan itu. Begitulah kehidupan seorang sarina. Bak barang di mata sang pemilik.
Hari-hari berikutnya adalah hari penuh penderitaan tanpa henti bagi Euis. Tuan barunya itu tidak seperti Tuan Barend. Bau jenever tercium sepanjang hari dari mulutnya. Cercaan dan makian menghiasi hari-hari perempuan itu. Tak terhitung berapa kali tubuh langsing dan wajah Euis menjadi sasaran pukulan sang tuan kala mabuk.
Nafsu binatang lelaki itu pun harus Euis terima tanpa daya. Hidupnya bak neraka dunia. Air mata terkadang masih membasahi pipi halusnya. Kala kesedihan memberatkan hati. Namun, perempuan itu menyadari, semua hal menyakitkan dalam hidup harus dia jalani. Teringat dia akan ucapan Uwa Euncih, sekali telah memilih menjadi sarina, tak akan ada jalan kembali.
Dia telah memilih dan tak ada jalan keluar dari jebakan kehidupan ini. Sebagai sarina, dia adalah aset sang tuan. Tak mungkin baginya untuk kabur dari tangsi. Kabur berarti mati. Selain itu ke mana dia bisa pergi. Uwa Encang, sang paman tak akan sudi menerima dirinya. Dia telah diserahkan bak barang yang diperjualbelikan. Saat ini pun perempuan itu tahu, dia telah dianggap ‘kotor’ oleh masyarakat di luar tangsi. Memilih menjadi sarina, hidup bersama lelaki kafir berbeda budaya adalah satu hal yang tak akan bisa mereka terima.
Euis berusaha tegar. Kesakitan akibat pukulan dan lemparan barang yang dilakukan sang tuan. Terkaman buas pada tubuhnya hampir setiap malam. Dia terima tanpa kata. Hati perempuan itu perlahan membeku. Tak lagi mampu merasakan apa itu senang dan bahagia. Yang dia tahu sang tuan harus dilayani sebaik mungkin. Saat ini hanya lelaki itu tempatnya bergantung untuk hidup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Tarihi KurguKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?