Empat tahun sudah Enah menjadi ibu sekaligus ayah bagi Euis. Waktu yang Enah miliki memang tak seperti dulu. Selalu menemani putrinya kapan saja. Kesibukannya sebagai buruh tani membuat Enah harus meninggalkan Euis bersama sang nenek seharian. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada, dia berusaha menunjukkan bahwa Euis tidak kekurangan kasih sayang.
Euis tumbuh menjadi anak yang ceria. Dia tahu meskipun sang ibu hanya bisa dijumpai kala malam menjelang, dekapan hangat akan diberikan ibunya ketika menemani tidur malamnya. Semua terasa baik-baik saja bagi Euis hingga suatu hari dia melihat neneknya menangis histeris kala seorang lelaki datang ke rumah mereka mengabarkan terjadi sesuatu pada Enah, ibunya.
Euis tidak memahami apa yang terjadi. Dia hanya bisa menyaksikan tubuh ibunya diselimuti samping (kain panjang) sebelum diurus oleh para tetua. Sang nenek memeluk cucu perempuannya itu sembari menangis ketika melihat wajah Enah, putrinya untuk terakhir kali. Jenazah Enah diantar ke liang lahat yang menjadi tempat peristirahatan terakhir di samping Amat, suaminya. Selama beberapa hari Euis masih sering menangis menanyakan di mana ibunya. Meskipun sang nenek selalu menemani. Namun, Euis merindukan dekapan hangat sang bunda kala tidur malam.
***
Hari terus bergulir, Euis mulai memahami bahwa dia tak akan bisa bersua dengan ibunya lagi. Sang nenek yang akan menemani gadis kecil itu kini. Kehidupan mereka makin sulit setelah ditinggalkan Enah, tulang punggung keluarga. Euis melihat neneknya melakukan segala cara untuk tetap bisa melanjutkan hidup. Mencari kayu bakar untuk dijual. Menjadi buruh tani dengan tenaga rentanya yang tersisa. Semua dilakukan supaya mereka tetap bisa makan. Hal itu dilakukan sang nenek bertahun-tahun sepeninggal ibunya. Namun, lagi-lagi kesedihan menghampiri Euis. Di usianya yang genap delapan tahun, sang nenek tutup usia. Meninggalkan Euis sendiri.
Kesedihan dirasakan begitu dalam bagi diri gadis kecil itu. Hilang sudah keceriaan khas anak-anak dari wajah mungilnya. Dia tak tahu bagaimana hidupnya kelak. Semua terlihat membingungkan baginya. Hingga salah satu uwa (paman) dari garis keturunan ayahnya membawa Euis pindah dari dusun itu untuk tinggal bersama keluarganya.
***
Kehidupan baru Euis dimulai. Tinggal dengan Uwa Encang beserta keluarganya. Uwa Encang memiliki tiga anak, dua perempuan dan satu lelaki. Usia sepupu-sepupu jauh Euis itu hanya selisih sedikit dengan usia Euis. Istri Uwa Encang telah meninggal beberrapa tahun sebelumnya. Kehidupan mereka bisa dikatakan tidak lebih baik dari kehidupan nenek Euis. Upah yang diperoleh Uwa Encang sebagai buruh tani hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Rumah yang mereka tempati juga sangat tua. Bambu-bambu penopang rumah itu tampak nyata harus diganti. Namun, tak ada sepeser pun uang tersisa untuk memperbaiki rumah yang semakin hari semakin reyot itu. Meskipun begitu, Euis tetap bersyukur masih memiliki tempat tinggal dan saudara yang menemani. Lazimnya anak perempuan, Euis belajar mengurus rumah. Mencuci, memasak, membersihkan rumah serta urusan yang biasa dikerjakan oleh perempuan, dia pelajari. Euis bersama sepupu-sepupu perempuannya bekerja sama.
***
Tahun demi tahun berganti dan kehidupan mereka tak mengalami banyak perubahan. Hingga suatu hari, seorang lelaki datang ke rumah Uwa Encang. Mereka terlibat pembicaraan yang tampak serius. Euis tak memahami apa yang terjadi. Hanya berselang beberapa hari setelah kedatangan lelaki itu, anak perempuan tertua Uwa Encang meninggalkan rumah setelah dijemput lelaki yang bertamu ke rumah uwanya itu. Sejak kepergian sepupu tertuanya itu, tak terdengar lagi kabar beritanya. Seolah gadis itu menghilang ditelan bumi. Uwa Encang pun tak pernah membicarakan tentang anak perempuan tertuanya.
Satu tahun berselang, lelaki yang masih diingat oleh Euis kembali datang ke rumah Uwa Encang. Kali ini sepupu keduanya yang dijemput. Dan seperti kejadian sebelumnya. Setelah kepergian sepupunya, tak terdengar lagi kabar berita dari sepupu perempuan Euis. Sebenarnya ada tanya dalam hati gadis itu. Namun, dia tak berani bertanya pada uwanya.
***
Waktu terus berputar, hari berganti. Lima belas tahun usia Euis kini. Sepupu lelakinya telah menikah dan tinggal di lain kampung. Berdua dengan uwanya, Euis menempati rumah yang semakin reyot menanti waktu untuk roboh. Kehidupan mereka tak banyak berubah dibandingkan sejak Euis tinggal bersama uwanya. Kemiskinan masih menjadi sobat karib kehidupan mereka. Euis seperti juga uwanya menjadi buruh tani di desa itu. Berusaha membantu uwanya memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Euis tumbuh menjadi gadis yang mewarisi kelebihan fisik ibu dan ayahnya. Bertubuh langsing dengan rambut hitam panjang yang lebih sering digelung kala harus bekerja di sawah. Kulit coklatnya tercipta karena terpapar sinar mentari seharian. Mata bulat dengan alis bak semut beriring menghiasi wajah oval gadis itu. Setiap orang yang memandangnya akan mengatakan kalau Euis geulis (cantik). Sesuai dengan namanya yang memang berarti cantik.
***
Euis sedang mempersiapkan makan malam ketika dia mendengar suara seorang lelaki mengucap salam. Uwanya membuka pintu dan mempersilakan tamunya masuk. Euis segera menyiapkan air minum untuk tamu Uwa Encang. Ketika menyajikan, Euis seketika teringat bahwa lelaki itu yang telah membawa sepupu-sepupu perempuannya.
“Kang, ieu Euis.” (ini Euis)
Terdengar suara Uwa Encang mengenalkan Euis pada tamunya itu. Lelaki itu memandang Euis dengan teliti. Euis memandang wajah lelaki itu, mengangguk hormat kemudian menundukkan wajah. Entah mengapa ada perasaan tak enak di hati gadis itu melihat kedatangan tamu uwanya itu. Bergegas Euis meninggalkan mereka dan kembali berkutat di dapur. Menjelang maghrib, tamu uwanya pulang. Setelah menunaikan salat dan makan malam, Uwa Encang berucap,
“Neng, ada yang ingin Uwa bicarakan.”
Euis duduk di hadapan uwanya bersiap mendengarkan.
“Neng, kan sudah tahu kalau kehidupan kita tak berubah sejak dahulu. Hidup kita selalu saja susah. Itu mengapa, apa Neng mau bantu Uwa?”
Euis diam tetapi sorot matanya penuh tanya. Lelaki itu paham makna tatapan keponakannya. Kemudian menjelaskan maksud pembicaraan mereka. Euis mendengarkan kata demi kata yang terucap dari bibir Uwa Encang. Awalnya dia tidak langsung menangkap maksud uwanya. Namun akhirnya dia memahami kalau Uwa Encang telah meminta dirinya untuk keluar dari rumah itu. Uwanya itu telah mengikat perjanjian dengan tamu yang datang sore tadi. Uwa yang dia anggap sebagai tempat berlindungnya itu telah menjual dirinya. Kini Euis paham apa yang terjadi dengan sepupu-sepupu perempuannya dahulu.
Kubangan kemiskinan telah membuat uwanya menjual anak-anak perempuan dan kini Euis pada lelaki yang datang senja tadi. Mata Euis berembun. Dia tak mengira uwanya akan tega melakukan hal itu. Gadis itu mengira akan mendapat perlindungan dan kasih sayang dari uwanya setelah kematian ibu dan neneknya. Ternyata perkiraannya meleset. Lelaki di hadapan Euis itu telah dibutakan oleh uang karena kemiskinan yang menggerogoti hidupnya.
#sarina #bab1part2 #najmubooks #APNB2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Ficção HistóricaKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?