BAB VIII Part 1 Kala Hidup Meminta Memilih

217 28 4
                                    

Sejak malam itu Jansen dan Euis tak terpisahkan. Saling mengisi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Keduanya adalah pendengar yang baik. Mampu bersikap kapan harus mendengarkan dan kapan harus berbicara. Jansen merasakan kasih sayang berlimpah yang diberikan oleh Euis. Perempuan itu sanggup berperan sebagai sahabat, ibu bahkan kekasih bagi hati Jansen.

Euis pun mendapatkan hal yang selama ini didamba. Perlindungan dan kasih sayang dari seseorang yang menghargai dirinya. Sang tuan selalu mendukung apa pun yang dilakukan oleh Euis. Lelaki itu tahu bahwa sarina-nya adalah perempuan yang cerdas, Semua yang diajarkan oleh tuannya mampu dipelajari dengan cepat oleh Euis. Perempuan itu pun sangat senang ketika mampu berbagi pengetahuan pada sarina-sarina yang lain.

Seperti siang itu. Tanpa sengaja Jansen melewati ruangan di mana para sarina biasa menyiapkan masakan dan perlengkapan lainnya untuk sang tuan. Senyum menggantung di bibirnya kala melihat Euis duduk di depan beberapa perempuan. Penuh ketelatenan sarina-nya itu mengajari teman-temannya belajar menulis dan membaca.

“A, cara menulisnya begini. Dari atas ke bawah, ke atas lagi, ke bawah lagi. Beri garis.”

Lamat-lamat suara Euis terdengar di telingan Jansen. Lelaki itu berdiri sesaat di depan pintu ruangan bercat putih itu. Merasa ada yang memperhatikan, Euis menoleh. Ketika tatapannya bersirobok dengan sang tuan, perempuan berkain samping coklat itu tersipu.

“Lan … jut … kan ….”

Jansen berkata lirih tapi dengan jelas menekan setiap gerakan bibirnya supaya terbaca oleh Euis. Sarina beralis indah itu mengangguk. Jansen mengacungkan ibu jari kanannya ke atas dan tersenyum memberi semangat. Senyum itu pun menular ke bibir Euis dan ketika melihat ibu jari sang tuan., mata bulatnya berbinar.

Jansen juga selalu berusaha menyenangkan hati Euis dengan mengajaknya pelesir kala libur. Menikmati waktu bersama dengan melangkahkan kaki di taman, pasar atau sekedar menikmati suasana kota dari delman yang mereka tumpangi. Bandung memang mulai bebenah. Bandoeng yang dulunya disebut Negorij Bandoeng atau flinke dessa kini menjelma perlahan menjadi sebuah kota yamg maju di Priangan.

Semua terasa indah bagi Euis dan Jansen. Mereka seakan lupa bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Tak terasa waktu terus bergulir. Tahun berganti. Hari yang ditunggu Jansen sebelum menemukan kebahagiaan bersama Euis semakin mendekat. Hari di mana masa tugas lelaki itu sebagai tentara kolonial Hindia Belanda akan berakhir.

***

1912

Jansen duduk termangu di hadapan pusara Obie, Jemari tangan kanan lelaki yang kini berwarna merah kecoklatan itu memegang tiang salib di pusara sahabatnya itu. Mata Jansen memandang tanda salib itu seraya berucap perlahan,

“Obie, aku datang. Sebentar lagi masa tugasku akan berakhir, Itu berarti aku bisa kembali ke Holland. Sayangnya kali ini aku pulang sendiri, Tak ada lagi tawamu yang akan menemani seperti dulu awal kita berangkat ke tanah ini.”

Kepala Jansen menunduk. Mata kelabu itu berkabut. Punggung lelaki itu melengkung ke depan. Berusaha menahan rasa yang ada di dada. Dengan berat dia menarik napas dan melepaskan perlahan. Bibir lelaki itu kemudian berucap,

“Kau tahu Obie, selain untuk memberitahu tentang masa tugasku yang hampir berakhir. Kedatanganku juga untuk bercerita pada jij tentang apa yang kurasakan kini tentang Euis. Perempuan itu telah memberikan banyak kebahagiaan padaku. Dia merawatku dan menyayangiku. Sungguh apa yang jij katakan dulu benar adanya. Perempuan itu mampu membuatku nyaman bersamanya. Tapi ….”

Desir angin di kerkhof itu terdengar memecah kesunyian yang tercipta sesaat. Rahang Jansen mengeras. Mata penuh kelembutan itu memerah. Lelaki itu menghela napas dalam-dalam. Berusaha memasukkan berliter-liter oksigen ke dalam paru-parunya yang sesak. Setelah terdiam sesaat, Jansen melanjutkan kalimatnya.

“Kebersamaan kami sepertinya harus berakhir setelah masa tugasku selesai. Jij tahu bukan, tak mungkin untuk membawanya ke Holland. Hidupku tak lebih baik di sana. Vader dan saudara-saudaraku pasti terkejut. Euis pun terbiasa dengan sinar mentari tanah ini. Kehangatan yang tak akan mungkin dia temui di Holland. Ik tahu kini, perbedaan kami terlihat nyata. Sungguh pilihan hidup yang sulit. Euis memang baik, perempuan yang sangat baik. Ik menyayanginya. Tapi, ik tak punya keberanian untuk kembali ke Holland bersamanya.”

Kepala Jansen makin menunduk. Beberapa kali bahunya bergetar. Tangan yang sebelumnya memegang tiang salib di pusara Obie. Kini mengepal kuat. Rahang kokoh Jansen makin mengeras. Menahan air matanya agar tak berderai. Setelah menumpahkan kegundahan hati di hadapan pusara sang sahabat. Jansen tampak melangkah gontai meninggalkan kerkhof di mana Obie terbaring.

***

Lembayung menggantung di cakrawala. Cahaya mentari senja membentuk siluet sepasang manusia di permukaan tanah aloon-aloon. Jansen menatap Euis penuh kelembutan. Rambut perempuan yang duduk di sampingnya itu tampak berkilau tertimpa sinar sang surya. Pipi halus dan hidung bangir terukir indah di wajah sarina-nya. Lelaki itu selalu terpesona dengan kecantikan yang dimiliki Euis. Kecantikan khas seorang perempuan Priangan. Jansen menarik napas pelan sebelum berkata,

“Euis, ik harus kembali bulan depan.”

Kalimat penuh kelembutan dari lelaki berdada bidang di sampingnya bak petir di gendang telinga perempuan berkebaya putih itu.

“Maafkan ik … tapi ini harus kupatuhi dan maafkan ik … tak bisa membawamu.”

Netra Euis memburam. Sekuat tenaga dia berusaha menahan. Namun, akhirnya pipi berwarna kuning langsat khas kulit perempuan Priangan itu basah juga oleh air mata. Hal yang dikhawatirkan selama ini akhirnya terjadi juga.

“Iya, Tuan ….”

Kala mendengar jawaban itu. Bola mata kelabu Jansen menatap Euis. Berkaca-kaca. Sarina-nya, perempuan sangat baik yang telah menemani hidupnya sekian puluh purnama di Hindia Belanda. Dalam hitungan hari ke depan harus dia tinggalkan. Setelah masa tugasnya berakhir. Dua anak manusia itu terdiam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Senja makin memerah. Meninggalkan guratan di batas cakrawala.

***

Mentari telah benar-benar tenggelam kala Jansen dan Euis meamasuki tangsi. Lampu-lampu minyak mulai menyala di beberapa bagian tangsi. Cahaya yang terpendar tak mampu menembus kabut yang mulai menyelimuti kota Bandoeng. Mereka melangkah pelan menuju barak. Saat sampai keduanya membersihkan diri dan bersiap rehat.

“Tidurlah … jij pasti lelah.”

Kepala Euis mengangguk pelan. Sejak mendengar kabar dari sang tuan, tak terdengar sepatah kata pun terucap dari bibir perempuan bertahi lalat di kanan bawah hidungnya itu. Kesenyapan menemani perjalanan pulang mereka dari aloon-aloon.

Jansen memandang wajah bulat telur Euis. Mata yang terpejam itu tampak membengkak karena tangis. Lelaki itu telah berusaha menyampaikan kabar sehalus mungkin tentang masa tugasnya yang akan segera berakhir. Namun, kesedihan tetap dirasakan oleh mereka. Penuh kelembutan dikecupnya kening Euis. Ketika Jansen mengangkat kepala. Dia bisa melihat air mata menetes di ujung kelopak mata yang memejam itu.

“Maafkan ik … Euis.”

Ucapan lirih dari bibir Jansen membuat air mata Euis makin menderas.

***
-bersambung-

#sarina #apnb #najmubooks #bab8part1 #nyai #kisahnyai #fiksi #fiksisejarah #historicalfiction #gundik #tentara #moentji #nyaitentara #masakolonial #bandoeng #parijsvanjava #bandung

SarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang