Waktu terus bergulir, Euis pulih dengan cepat. Tak sampai sepekan, telah kembali ke barak. Kembali menjalani kehidupan bersama sang tuan yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Euis menjalani hari-harinya tanpa perbedaan seperti sebelumnya. Tanpa bisa memilih bagaimana melanjutkan hidup.
Sesekali dia mencurahkan isi hati kepada Edah. Hanya perempuan itu tempatnya bercerita. Hingga suatu pagi, Edah mengajak Euis ke sudut barak kemudian berucap pelan,
"Neng, punten ada yang ingin Teteh bilang."
Euis menatap Edah penasaran. Edah memahami tatapan Euis kemudian melanjutkan ucapannya.
"Sepekan lagi, Teteh meninggalkan tangsi ini. Tuan mengajak Teteh ke tempat tugas barunya."
Kalimat yang terdengar di telinga Euis itu membuat tubuh perempuan itu lemas. Terbayang di pelupuk matanya kehidupan yang dijalani akan terasa makin berat tanpa kehadiran Teh Edah. Dia akan kehilangan sosok kakak dalam hidupnya di tangsi ini. Mata bulat itu berkabut. Namun, dia paham, Teh Edah juga tak memiliki pilihan lain. Apalagi yang bisa dilakukan seorang sarina selain bergantung pada sang tuan. Selagi sang tuan berbaik hati pada sarina-nya, itu saja sudah cukup membuat seorang sarina harus banyak bersyukur. Euis tahu tuan Teh Edah adalah Jan (tentara Eropa) yang baik, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan tuannya.
"Iya, Teh ... semoga kita bisa bersua lagi suatu hari nanti," ucap Euis berusaha tersenyum.
Lengan Edah mendekap Euis erat. Sesungguhnya dia merasa berat berpisah dengan Euis yang telah dia anggap seperti adik. Namun, dia tak memiliki pilihan lain. Permintaan sang tuan adalah perintah tak tertulis baginya. Edah mempererat dekapan pada tubuh langsing Euis, dia berdoa semoga perempuan dalam dekapannya itu bisa hidup lebih baik kelak.
***
"Ik sudah berikan jij pada Ruud."
Euis berusaha memahami ucapan tuannya.
"Ik akan pergi ke tempat baru tapi tidak akan bawa jij."
Lelaki gempal itu berkata tanpa beban kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Pekan depan jij ikut Ruud, dia sudah mau terima jij."
Kepala mungil Euis mengangguk. Tanpa sepatah kata dia mematuhi apa yang diucapkan sang tuan. Beginilah hidup seorang sarina. Bisa diberikan layaknya barang setelah sang tuan tak menginginkan lagi. Perempuan itu tahu konsekuensi pilihan hidup menjadi sarina. Dia hanya bisa berharap semoga Tuan Ruud lebih baik dari tuannya sekarang.
***
Hari keberangkatan Edah tiba jua. Perempuan itu akan mengikuti sang tuan ke tempat baru di mana sang tuan akan ditugaskan. Sumatra. Daerah yang memisahkan Edah dengan daerah asalnya. Daerah yang betul-betul baru bagi perempuan itu. Sang tuan telah memberitahu bahwa dia harus bersiap untuk melakukan perjalanan dengan kapal laut. Hal baru yang membuat perempuan itu merasa ngeri. Namun, bagaimana pun dia harus mematuhi sang tuan. Meninggalkan Bandoeng, kota yang telah dia tinggali beberapa tahun ini.
"Baik-baik di sini, ya. Teteh akan mendoakan Neng dari jauh," ucap Edah serak.
Sekuat tenaga dia menahan air mata. Pandangan mata Edah kabur tergenang air mata. Pelukannya terasa sangat erat dirasakan Euis. Seakan enggan untuk melepas. Euis menganggukkan kepala. Dengan cepat jemarinya mengusap mata. Dia tak ingin Edah melihat air mata itu.
"Iya, jaga diri Teteh juga di sana," sahut Euis.
Edah melepas pelukan kemudian meraih tangan Euis yang langsing. Membuka telapak tangan Euis dan menaruh sebuah bungkusan di atasnya seraya berkata,
"Terima ini. Maaf, Teteh tidak bisa memberikan apa pun sebagai tanda perpisahan kita."
"Haturnuhun, Teh."
Edah meraih Euis dalam pelukan sekali lagi sebelum terdengar sang tuan memanggil untuk bersiap meninggalkan tangsi. Edah melambaikan tangan dan Euis membalas lambaian itu. Ditatapnya Edah hingga menghilang dari pandangan. Pipinya terasa panas. Air mata itu tak terbendung jua. Mengalir membasahi pipi halus Euis. Tak ada lagi kawan berbagi cerita. Tak ada lagi sosok kakak yang selalu siap membantu meskipun kehidupannya sendiri tak jelas ujungnya. Kini, Euis harus menghadapi hari-hari di barak tanpa sosok Teh Edah.
Euis membuka telapak tangannya perlahan. Tanpa harus dia buka, dia tahu apa pemberian Teh Edah berbungkus kain itu. Segenggam uang koin, tabungan Teh Edah. Dimasukkannya bungkusan itu ke dalam bengkung yang membalut pinggangnya. Euis merasa lemah sesaat. Hari ini pun tuannya pergi dan itu berarti dia akan memiliki tuan baru. Kehidupan bersama lelaki Eropa yang belum dia kenal akan dimulai. Kehidupan yang entah bagaimana akan berakhir.
***
-bersambung-#sarina #bab4part3 #najmubooks #apnb2021 #fiksisejarah #historicalfiction #kisahnyaibelanda #ceritanyaibelanda #nyaibelanda #nyaitentarakolonialHindiaBelanda #fiksisejarahHindiaBelanda #nyai #gundik #moentji #historyfiction
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historische RomaneKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?