Jansen menyimak semua penjelasan yang diberikan oleh dokter. Termasuk hal terburuk yang mungkin terjadi. Jansen terdiam. Dia tahu penyakit Obie bukan hal yang sepele. Lelaki itu tahu malaria telah merenggut banyak nyawa di Hindia Belanda ini.
Setelah dirasa cukup semua penjelasan yang diberikan, dokter itu menepuk pundak Jansen dan Johannes. Berusaha memberikan semangat pada dua pemuda itu. Jansen dan Johannes kemudian berpamitan pada dokter. Mereka ingin ke zaal di mana Obie masih terbaring.
Berdiri di sisi ranjang, Jansen memandang wajah Obie yang pucat. Kedua mata sahabatnya itu terpejam. Berdasar penjelasan dari dokter, hari ini Obie akan dipindahkan ke rumah sakit. Untuk mendapatkan perawatan yang lebih memadai dibanding di zaal tangsi ini.
"Ik akan mengantar Obie?" tanya Johannes pada Jansen.
Kepala Jansen mengangguk. Dia tahu dokter akan melakukan hal yang terbaik untuk pasiennya. Namun, Jansen ingin memastikan bahwa sahabatnya itu akan mendapat tempat perawatan yang lebih baik. Para perawat mulai mempersiapkan Obie untuk dipindahkan. Jansen memperhatikan kesibukan itu. Setelah semuanya siap, mereka berangkat.
***
Gerbang masuk Militaire Hospital berupa pintu tembok tinggi tanpa daun pintu, dengan bentuk setengah lingkaran di bagian atasnya. Sepanjang dinding pembatas rumah sakit berupa tembok tinggi berwarna putih berjajar jendela-jendela tinggi yang bentuknya mirip dengan bentuk pintu gerbang rumah sakit itu. Bagian atas jendela berbentuk setengah lingkaran dengan daun jendela berbahan kayu jati tua yang tetap terlihat elegan meskipun telah berusia lebih dari satu dasawarsa.
Gaya arsitektur art deco kental terasa kala memandang bangunan kokoh yang dibangun di akhir abad sebelumnya. Kesan gagah terpancar dari bangunan rumah sakit militer itu. Seakan menyambut kedatangan Obie sebagai pasien. Bergegas mereka menuju ke ruang tindakan untuk mendapatkan perawatan bagi Obie.
Setelah melalui pemeriksaan di ruang tindakan. Obie dipindahkan ke zaal perawatan. Zaal di mana Obie dirawat tampak lengang. Ranjang-ranjang yang berjajar sepanjang tembok hanya terisi beberapa saja. Tembok zaal yang dicat putih membuat ruangan itu terlihat luas. Langit-langit tinggi dan pintu kayu yang juga tinggi membuat hawa dalam ruangan tidak pengap. Jansen dan Johannes berdiri di samping ranjang di mana Obie terbaring.
"Ik baik-baik saja ... jangan khawatir ...."
Lirih suara yang terucap dari bibir Obie. Jansen tersenyum pada sahabatnya itu. Tangan Obie dipegangnya erat.
"Ya, jij baik-baik saja dan harus tetap begitu. Di sini jij akan dirawat lebih baik," ucap Jansen penuh kelembutan.
Kepala Obie mengangguk lemah dan membalas senyuman Jansen. Johannes dan Jansen menemani Obie sampai seorang perawat meminta mereka untuk membiarkan Obie beristirahat. Setelah berpamitan, kedua pemuda itu kembali ke tangsi.
***
"Bagaimana keadaan Tuan Obie?" tanya Euis lembut.
"Kondisinya masih harus terus diperhatikan menurut dokter," sahut Jansen.
Lelaki itu kemudian menjelaskan pada Euis apa yang dia ketahui tentang kondisi sahabatnya itu. Perempuan itu menyimak penjelasan sang tuan dengan serius. Dia tahu Tuan Obie, begitu Euis menyebut, sangat dekat dengan tuannya. Persahabatan mereka tak terpisahkan.
Senja menjelang dan berganti malam. Jansen berusaha untuk menenangkan diri dengan kesibukannya membuat kerajinan kayu. Entah mengapa, dia merasa perasaannya tak enak.
Semoga Obie segera sehat dan bisa kembali ke tangsi, batin Jansen.
***
Tiga hari sudah Obie berada di rumah sakit. Meskipun jarak rumah sakit dengan tangsi lumayan jauh. Namun, setiap hari Jansen menyempatkan diri untuk mengunjungi sahabatnya itu. Memastikan Obie baik-baik saja. Seperti sore ini, Jansen melangkahkan kakinya yang terbalut pantalon di lorong rumah sakit. Dia ingin menjenguk sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?