Jansen termangu senja itu. Lelaki itu tengah sibuk dengan pikirannya. Sejak awal menginjakkan kaki di Hindia Belanda. Hanya memperbaiki nasib yang ingin dia lakukan. Namun, nyatanya setelah sekian purnama berada di kota Bandoeng ini. Entah bagaimana, kehidupan membuatnya bertemu dengan seorang perempuan muda yang sesungguhnya telah membuat Jansen tertarik sejak awal bersua. Dia memang tak tahu siapa nama perempuan itu.
Masih jelas dalam ingatan lelaki itu ketika melihat perempuan itu pertama kali di sebuah tempat makan. Dia kemudian juga mengetahui kalau perempuan itu menjadi sarina salah seorang jan di tangsi di mana Jansen juga tinggal. Lelaki itu menyadari bahwa perempuan itu tak pernah tahu tentang dirinya. Namun, peristiwa demi peristiwa yang terjadi pada perempuan itu ternyata tak pernah luput dari perhatian Jansen. Bahkan ketika perempuan itu menjadi korban dari tuannya, kehilangan janin yang dikandung. Jansen yang membopong tubuh perempuan itu.
Sekuat tenaga dia berusaha menjauh dari perempuan mungil itu. Namun, lagi-lagi takdir berbicara. Hari ini dia mendapat permintaan dari salah seorang sahabatnya, Ruud. Untuk menerima sarina-nya yang harus ditinggalkan kembali ke negara asal karena cuti sakit. Di satu sisi Jansen ingin fokus dengan tujuan hidupnya untuk memperbaiki nasib di tanah koloni ini. Di sisi lain, dia tak tega melihat perempuan muda itu mendapat tuan yang tak menganggapnya sebagai seorang manusia. Jansen masih berkutat dengan pikirannya. Dia berusaha menimbang-nimbang apa yang harus dia putuskan untuk kehidupannya.
“Hai, apa yang sedang jij lakukan?”
Suara riang Obie mengagetkan Jansen. Dia tak menyadari kehadiran sahabatnya itu.
“Ada yang sedang membebani pikiranmu? Ik lihat dari jauh, tampaknya jij sedang melamun.”
Kalimat Obie kali ini terdengar serius. Jansen menatap Obie. Rasanya dia memang harus berbagi beban dengan sahabatnya ini. Jansen pun menjelaskan sedetail mungkin atas apa yang dia pikirkan. Obie menyimak dengan penuh keseriusan. Obie paham, Jansen adalah seorang lelaki yang tak pernah main-main dalam mengambil keputusan. Semua dia pikirkan dengan matang. Setelah Jansen menuntaskan ceritanya, Obie berkata,
“Kalau ik boleh memberikan saran, sebaiknya terima saja permintaan Ruud itu. Jij bisa lihat selama di tangsi ini kalau perempuan itu telah mengalami banyak kesedihan dalam hidup. Apakah jij tega kalau melihat perempuan itu mendapat jan atau kromo yang hanya menganggapnya seperti barang?”
Pertanyaan Obie membuat Jansen terdiam. Benar juga apa yang disampaikan sahabatnya itu. Ada rasa kasihan dan tak tega apabila melihat perempuan itu harus mengalami kesedihan karena mendapat tuan yang tak menghargai.
“Terima kasih untuk saranmu, akan kupikirkan apa yang sebaiknya kuputuskan untuk menjawab permintaan Ruud,” ucap Jansen tersenyum.
Obie balas tersenyum mendengar ucapan Jansen. Beranjak mereka kembali ke barak karena mentari pun mulai tenggelam.
***
Kini, di hadapan Jansen telah berdiri perempuan yang akan menjadi sarina-nya. Euis, akhirnya Jansen tahu siapa nama perempuan mungil itu. Nama yang terdengar sangat singkat, namun lelaki itu tahu bahwa nama itu memiliki makna yang sangat indah. Setelah memikirkan dengan matang. Jansen memutuskan untuk menerima permintaan Ruud untuk menerima Euis. Dan mulai hari ini kehidupan mereka bersama akan dimulai.
“Mulai hari ini tolong bantu siapkan semua keperluan ik, kalau butuh sesuatu bilang saja.”
Kalimat pertama yang meluncur dari bibir Jansen terdengar sangat lembut di telinga Euis. Kepala perempuan itu mengangguk. Sesaat perempuan itu terpesona dengan kelembutan yang dia dengar. Perasaannya kali ini mungkin tidak salah, bahwa sang tuan memang tampak bak pelindung. Mungkin itu sebabnya, Tuan Ruud mempercayakan dirinya pada Tuan Jansen.
“Baik, Tuan, saya akan melayani sebaik mungkin.”
Waktu terus berjalan dan Euis telah siap akan kehidupan selanjutnya dengan tuan barunya.
***
Hari demi hari berganti. Jansen dan Euis telah hidup bersama beberapa purnama. Kehidupan yang dirasakan Euis sangat berbeda dengan kehidupan bersama tuan sebelumnya. Jansen, tuan barunya hingga hari ini belum pernah meminta untuk menemani kala tidur. Lelaki itu sangat sopan dan memperlakukan Euis selayaknya manusia. Terkadang mereka bercakap-cakap seperti teman. Jansen mengajari Euis beberapa kata dalam bahasa ibunya, demikian pula dengan Euis.
Lelaki itu juga menyerahkan gajinya untuk diatur Euis dengan baik. Masakan yang dibuat oleh perempuan itu selalu dilahap Jansen dengan sukacita.
“Euis, besok tolong buatkan pais lauk untukku, ya,” ucap Jansen suatu hari.
Lidah Eropa lelaki itu telah beradaptasi dengan citarasa masakan Sunda yang Euis buat. Jansen juga mulai mengajari Euis untuk belajar beberapa masakan negaranya. Disesuaikan dengan bahan yang ada di sekitar tangsi.
Euis belajar membuat resep yang diberikan tuannya dan jadi tahu tentang frikadeller. Yang sulit dia lafalkan. Euis lebih bisa menyebutnya begedel atau perkedel kentang. Cara membuat dadar gulung, risole, dan oliebollen juga dia pelajari dari Jansen. Mereka berdua saling beradaptasi dengan bahasa dan budaya masing-masing.
Jansen juga mengajari Euis membaca dan menulis. Perempuan itu mulai bisa mengenal huruf dan sering mengeja kalimat atau kata yang dia lihat kala ke luar tangsi.
Euis juga merasakan kalau Tuan Jansen sangat menyenangkan sikapnya. Terkadang saat libur, lelaki itu mengajak Euis berbelanja atau mengajak pelesir. Jansen tidak memedulikan pandangan aneh dari orang-orang yang melihat kala mereka jalan berdua. Lelaki itu sangat melindungi Euis dan perempuan itu sangat menyukai sikap tuannya. Seiring waktu mereka makin dekat dan menjalani hidup dengan nyaman.
***
“Euis, ik akan patroli ke daerah pinggiran untuk beberapa hari.”
Jansen berkata suatu malam saat hendak berangkat tidur. Mereka terbiasa berbincang sejenak sebelum mata terpejam.
“Kapan berangkat, Tuan?” tanya Euis pelan.
“Lusa dengan beberapa tentara lainnya.”
“Baik, akan saya siapkan keperluan Tuan,” sahut Euis tersenyum.
“Terima kasih, sudah malam, tidurlah. Sebentar lagi aku pun akan tidur,” ucap Jansen lembut.
Euis memejamkan matanya. Sekilas Jansen melihat wajah perempuan mungil itu. Temaram lampu minyak yang menerangi barak itu memantul samar di wajah mungil perempuan di hadapan Jansen. Lelaki itu mengangkat jemarinya. Ingin rasanya, lelaki berhidung mancung itu menyentuh anak rambut Euis yang membingkai wajah perempuan itu. Namun, jemari panjang lelaki itu membeku di udara. Jansen tersadar, dia telah berniat melindungi perempuan tak berdaya itu. Tak adil rasanya kalau dia meminta lebih dari Euis.
Jansen membalikkan tubuh. Dia berusaha mengalihkan perhatian pada beberapa potongan kayu di depannya. Dengan hati-hati dia menatah beberapa bagian dari potongan kayu itu. Lelaki itu ingin melakukan hal yang dulu sering dia lakukan saat masih di Holland. Membuat beberapa hiasan dari kayu. Perhatiannya segera terpusat pada kayu-kayu. Jansen tak menyadari di balik punggungnya, Euis memandang sang tuan dengan mata bercahaya.
Bahu lelaki itu tampak sangat bidang. Otot lengannya terlihat menonjol di balik baju putih yang dikenakan. Urat-urat khas lelaki terbentuk sangat jelas. Entah bagaimana, ada perasaan nyaman dan tenang di hati Euis kala melihat tuannya. Aura pelindung terlihat jelas di balik tampilan Jansen. Tak berselang lama, Euis pun tertidur dengan senyum menghiasi bibirnya yang bulat penuh.
Jansen menoleh sesaat dan dia pun tersenyum kala melihat perempuan mungil itu telah tertidur. Diambilnya sehelai kain. Diselimutinya tubuh Euis. Kaki jenjang perempuan itu dia tutup dengan penuh kelembutan. Setelah memastikan perempuan itu telah nyenyak tertidur. Jansen kembali melanjutkan aktivitasnya.
***
#sarina #bab6part1 #najmubooks #apnb #fiksisejarah #historicalfiction #tentara #nyaibelanda #moentji #history #gundik #gundikbelanda
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?