Bagaimana,Neng? Kalau mau membantu Uwa, besok Uwa Ero akan menjemputmu.”
Kalimat tanya yang menyiratkan perintah itu terdengar begitu tenang. Kepala mungil Euis menunduk. Lidahnya kelu. Entah apa yang akan dia alami kelak. Yang dia tahu, kini kehadirannya tak diharapkan lagi oleh Uwa Encang di rumah ini. Mata Euis memanas. Sekuat tenaga gadis itu menahan air mata supaya tak tumpah. Kepala Euis mengangguk lemah. Dia tak punya pilihan lain. Jalan hidup telah digariskan oleh uwanya. Untuk pergi dari rumah yang telah dia tempati selama ini.
“Nuhun, Neng, sudah membantu Uwa, besok Uwa Ero akan menjemput pagi. Sebaiknya malam ini dirimu berkemas,” ucap Uwa Encang menyiratkan kelegaan.
Euis menganggukkan kepala lagi. Lelaki itu kemudian ke luar rumah. Meninggalkan gadis itu yang masih tak percaya akan ucapan sang uwa. Euis berdiri dan melangkah gontai menuju ke ruangan tempat rehatnya untuk mulai berkemas. Beberapa helai pakaian dan samping yang dia punya, dibungkus dengan rapi. Wajah gadis itu memerah menahan tangis saat bungkusan pakaian telah siap.
Air mata yang telah ditahan itu bobol juga. Mengalir deras membasahi pipi Euis yang kini tirus. Tak ada suara tangisan keluar dari bibir gadis itu. Hanya buliran air mata yang terus mengalir tanpa henti. Sakit menyelimuti hati, namun dia tahu, garis hidupnya telah ditentukan oleh sang uwa. Setelah puas menangis, Euis merebahkan tubuh di tikar pandan lusuh yang menjadi alas tidurnya. Raga dan jiwa gadis itu terasa sangat lelah.
***
Suara kokok ayam membangunkan Euis. Bergegas gadis itu bangun dan menuju ke dapur untuk melakukan semua hal yang biasa dia kerjakan pagi hari. Namun, gadis itu hampir saja terloncat. Uwa Encang terlihat duduk di depan tungku yang telah menyala. Ketika melihat Euis, lelaki itu tersenyum seraya berkata,
“Tos, ku Uwa masakna, Neng mah siap-siap ngadagoan Wa Ero.”
(Sudah, Uwa yang masak, Neng bersiap menanti Wa Ero)Euis mengangguk dan bergegas untuk membersihkan diri. Bagaskara mulai menyiramkan kehangatan ke bumi ketika lelaki yang dipanggil Uwa Ero tiba. Setelah bercakap sebentar, Uwa Ero berpamitan pada Uwa Encang. Euis pun berpamitan. Dia mencium tangan uwanya tanda perpisahan. Sorot mata lelaki itu sangat tenang. Tak terlihat rasa kehilangan atau kesedihan pada wajah yang telah dihiasi keriput halus di sudut-sudut matanya.
“Wa, abi pamit, hapunten bilih abi teh tos ngarepotken.”
(Wa, saya pamit, maaf kalau saya telah merepotkan)Kalimat itu meluncur dari bibir Euis. Tersirat kesedihan mendalam pada ucapan gadis itu. Dia berusaha memahami bahwa mungkin ini jalan terbaik baginya untuk membalas kebaikan Uwa Encang yang telah bersedia mengurus setelah kematian neneknya. Gadis itu berusaha menerima apa yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Tak ada ucapan yang keluar dari bibir lelaki di hadapan Euis. Hanya memberikan tepukan lembut di kepala gadis itu.
“Kang, abi pamit,” ucap Uwa Ero.
Uwa Encang mengangguk seraya tersenyum. Uwa Ero kemudian memberikan isyarat pada Euis untuk mengikuti langkahnya. Gadis itu membuntuti langkah Uwa Ero. Sesaat sebelum menjauh dari rumah bambu itu, dia menengok sekali lagi untuk melihat rumah yang telah menjadi tempatnya berlindung selama beberapa tahun ini. Uwa Encang tampak melambaikan tangan. Mata Euis memanas lagi. Dia memalingkan wajah dan bergegas mengikuti langkah Uwa Ero yang telah terpisah jarak. Ketika langkah mereka makin menjauh, untuk terakhir kali Euis menatap desa tempat tinggalnya selama ini. Desa yang dikelilingi sawah dan tegalan itu terlihat begitu asri di mata Euis. Kini, desa itu harus rela dia tinggalkan.
Udara pagi menemani perjalanan mereka. Setelah berjalan cukup lama. Uwa Ero mengajak Euis menuju ke sebuah tempat yang tampak ramai. Lelaki itu meminta Euis untuk menunggu sejenak di salah satu sudut bangunan bertiang besi dan beratap kayu. Baru kali ini gadis itu melihat bangunan tembok yang menyiratkan kegagahan bagi yang memandang. Matanya terus memperhatikan bangunan gagah itu. Juga memperhatikan orang-orang lain yang terlihat sangat menarik dengan semua aktivitasnya.
“Hayu, Neng.”
Ajakan Uwa Ero menyadarkan Euis atas kekaguman untuk semua yang dilihat. Euis mengangguk. Bak kerbau yang dicocok hidungnya, gadis itu mengikuti langkah Uwa Ero. Dia menurut saja ke mana lelaki itu mengajak. Beberapa saat kemudian terdengar lengkingan suara dari ujung bangunan itu. Tak berselang lama, terlihat kepulan asap hitam di kejauhan. Suara mendesis dan beradunya besi terdengar makin tajam di telinga Euis. Baru kali ini dia melihat kereta api. Mata gadis itu membulat tak berkedip dengan mulut ternganga. Benda bergerak yang mengepulkan asap itu sangat memesona Euis.
Mendekat dan terus mendekati bangunan di mana banyak orang berdiri menanti. Akhirnya benda itu berhenti juga. Uwa Ero memberitahu Euis untuk mengikuti langkahnya memasuki salah satu gerbong yang ditarik oleh lokomotif yang terus mengepulkan asap. Uwa Ero bisa juga mendapatkan tempat duduk untuk Euis. Berdesakan dengan penumpang lain yang juga mengisi gerbong itu.
Terdengar suara lengkingan kembali dan gerbong itu mulai bergerak. Mata Euis berbinar. Dia tak mampu menyembunyikan rasa takjub.Gerbong yang dia naiki memiliki jendela-jendela di kedua sisi. Tanpa penutup membuat angin bebas menyeruak masuk ke dalam gerbong tempat Euis. Gerbong itu penuh dengan penumpang. Di satu sisi dilihatnya seorang lelaki duduk di lantai gerbong dengan membawa kambing. Di sisi lain, seorang perempuan duduk sembari merapikan keranjang berisi sayuran. Sedangkan di kursi di hadapan Euis, duduk seorang perempuan menggendong anak yang terlihat sangat senang karena bisa naik kereta. Kereta itu seakan meliuk-liuk di antara lembah. Naik turun membelah perbukitan. Menyajikan pemandangan yang memesona netra Euis.
Perjalanan itu sama sekali tidak membuat gadis itu merasa bosan. Ketika matahari makin meninggi, Uwa Ero memberikan sesuatu padanya. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu membuka dan nyaris berteriak kegirangan. Nasi putih dengan pepes ikan emas tersaji di depan mata. Menu yang nyaris tak pernah dia dapatkan selama hidup. Dengan sopan gadis itu menawari orang-orang yang duduk di depannya. Setelah mereka mempersilahkan Euis, dengan lahap dia menikmati pemberian Uwa Ero itu. Hari ini dia merasa sedikit terhibur. Kesedihan karena harus meninggalkan rumah uwanya sedikit terobati. Setelah selesai makan, Euis kembali menikmati perjalanan yang baru dia rasakan pertama kali dalam hidup.
Kereta itu terus meliuk bak naga yang membelah kerasnya perbukitan di Tatar Parahyangan. Membawa para penumpangnya menuju tujuan yang diharapkan. Harapan yang ingin diwujudkan untuk kehidupan yang lebih baik. Dan Euis masih terpesona dengan perjalanan yang dia rasakan hari itu. Hari yang membawa kesedihan sekaligus kebahagiaan.
-bersambung-
#sarina #bab1part2 #Najmubooks #APNB
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?