BAB VII Part 2 Arti Dirimu Bagiku

235 27 8
                                    

Euis sedang melipat baju-baju tuannya ketika beberapa tentara dan sarina bergegas menyiapkan perlengkapan mereka. Perempuan itu menatap kebingungan kesibukan yang dilihatnya.

“Teh, Tangkuban Parahu meletus, geura beberes (segera bersiap) barangkali kita diminta mengungsi.”

Ucapan seorang sarina membuat Euis tercekat. Kakinya berlari menuju halaman barak. Dengan mata telanjang dia bisa melihat asap putih keabuan membumbung tinggi dari puncak Tangkuban Parahu. Lutut Euis melemas. Sesaat tubuhnya membeku.

“Teteh! … cepat, Teh! … ayo, siapkan perlengkapan.”

Teriakan sarina yang tadi memberitahunya tentang Tangkuban Parahu menyadarkan Euis. Perempuan itu segera berlari kembali ke ranjang tuannya berada. Dia masukkan barang-barang yang pasti dibutuhkan kalau diminta mengungsi.

Bahan makanan, beberapa baju ganti, selimut dan segala yang dia ingat, segera dimasukkan ke dalam tas. Tak butuh waktu lama, Euis telah selesai menyiapkan perlengkapan. Dia menanti dengan harap-harap cemas apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tuan Jansen belum kembali, apa Tuan baik-baik saja?

Tanya memenuhi hati Euis. Hari ini tuannya mendapat tugas untuk mengantar kiriman barang ke tangsi di Cimahi. Tak ada siapa pun yang menduga bahwa gunung legenda itu akan meletus hari ini. Keringat dingin memenuhi dahi Euis yang halus. Matanya beberapa kali melihat pintu masuk barak. Berharap melihat sosok tuannya kembali. Namun, yang ditunggu tak kunjung tiba jua.

***

Jansen melangkah menyusuri jalanan berbatu di depan tangsi militer tempatnya mengirim barang. Hari ini dia mendapat tugas dari atasannya untuk mengirim barang ke salah satu teman sang atasan. Tugas yang telah dia selesaikan beberapa waktu berselang. Kini, saatnya dia kembali ke tangsi. Melaporkan bahwa telah menyelesaikan tugas.

Langkahnya terhenti kala melihat kesibukan yang terjadi di tangsi di depannya. Beberapa tentara terlihat berlarian. Seakan bersiap untuk hal yang sangat penting. Dua tentara terlihat menunjuk ke arah utara. Mata Jansen mengikuti pandangan mata kedua tentara itu. Hal yang dia lihat kemudian membuat lelaki itu tak percaya.

Asap putih keabuan membumbung tinggi dari puncak gunung Tangkuban Parahu. Asap itu membentuk kolom yang terlihat jelas di mata Jansen. Sesaat tubuh tingginya membeku. Namun, beberapa detik kemudian dia tersadar. Satu hal yang ada di pikiran.

Aku harus segera kembali ke tangsi.

Bergegas Jansen menuju jalan utama. Mencari cara tercepat untuk kembali ke tangsi. Satu yang ada dalam pikirannya. Euis. Perempuan yang harus dia lindungi.

***

Euis menatap beberapa tentara yang berkumpul. Mereka mendapat perintah untuk menanti keputusan sang komandan. Mengungsi ataukah tetap di tangsi. Sorot mata Euis terlihat tak tenang. Beberapa kali mengarahkan pandangan ke arah pintu masuk barak. Sosok yang dia tunggu masih belum terlihat. Sosok sang tuan. Waktu terasa berjalan sangat lambat baginya.

Tuan Jansen, kau di mana?

Hatinya tak tenang. Euis merapatkan jemari. Keringat dingin terasa di kedua telapak tangannya. Sekuat tenaga dia berusaha untuk tetap tenang. Namun, hati kecilnya bergejolak.

Tuan, cepatlah kembali. Aku menanti.

Euis berdiri dari ranjang yang dia duduki. Berusaha merapikan semua perlengkapan. Sesekali pandangannya tertuju ke pintu masuk barak. Namun lagi, kekecewaan yang harus dia terima. Sosok sang tuan belum juga terlihat.

Waktu terus berjalan. Penantian Euis hampir mencapai puncaknya. Ketika sosok yang dia tunggu akhirnya terlihat. Langkah kaki Jansen setengah berlari mendekati Euis. Reflek lengan kekar Jansen memeluk tubuh mungil sarina-nya. Sesaat mereka saling mendekap hingga perlahan tubuh Euis bergerak dalam dekapan sang tuan. Perlahan Jansen melepas pelukannya.

SarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang