“Nyi, di mana bengker-ku?!”
Teriakan Teja memecah keheningan pagi yang beranjak terang. Euis bergegas melangkah ke ruangan di mana Teja berada. Ditinggalkannya nasi yang baru saja diangkat. Kepulan asap dari nasi itu dengan cepat menghilang tersapu kibasan kain samping yang dikenakan perempuan langsing itu.
“Semua barang Akang disimpan di sini agar mudah mencarinya,” sahut Euis pelan.
“Kenapa disimpan di dalam? Jadi lama carinya. Buru kadieukeun!” (cepat bawa ke sini)
Euis mengangsurkan bengker dalam genggamannya ke arah Teja. Matanya menatap lelaki di hadapan. Seperti biasa Teja selalu tampil perlente. Baju bedahan dan bengker telah terpasang di atas rambutnya yang ikal. Sorot mata Euis mengandung tanya. Merasa diperhatikan, Teja menatap perempuan di depannya.
“Ada apa?” Tanya terucap dari bibir Teja yang hitam, imbas tembakau yang sering diisapnya.
“Mau ke mana pagi-pagi begini, Kang?” Euis balik bertanya, mengungkapkan rasa penasaran yang tersimpan di hati.
“Enggak perlu tahu. Ini urusan lelaki.”
Teja menjawab seraya melangkahkan kaki meninggalkan Euis yang terpaku. Tanpa berpamitan lelaki itu pergi begitu saja. Euis yang menyusul di belakang Teja hanya bisa menatap punggung lelaki yang makin menjauh dari pandangannya. Tanpa disadari, tangan perempuan itu memegang dadanya yang terasa perih.
Hampir dua tahun sudah Teja menikahinya. Semua perhatian yang dulu diberikan lelaki itu kini hanya tinggal cerita. Ucapan manis dan barang-barang yang pernah diberikan, hanyalah semu ternyata. Teja yang menjanjikan kehidupan manis pada Euis. Kini dirasakan bak isapan jempol semata olehnya.
Perhatian dan kata-kata manis itu hanya bertahan enam purnama. Setelahnya, kehidupan Euis bak di neraka. Teja ternyata lelaki yang egois. Dia tidak pernah mau mendengarkan ucapan orang lain termasuk Euis, istrinya. Kehidupan Teja masih sama seperti sebelum menikah. Pergi pagi hari dan pulang sore atau keluar kala senja dan pulang dinihari. Tak pernah sekali pun Euis tahu ke mana suaminya itu pergi.
Lelaki itu masih menikmati kehidupan layaknya jejaka. Tanpa rasa tanggung jawab untuk menafkahi Euis. Hidup lelaki itu hanya hardolin (dahar, modol, ulin). Istilah yang dipakai suku Sunda untuk menunjukkan seseorang yang sangat pemalas.
Euis menghela napas berat sebelum kembali ke dapur di mana aneka sayur, lauk dan bumbu menanti untuk diolah. Mata perempuan itu sempat memburam. Namun, dengan cepat dia segera mengusapnya dan memusatkan perhatian pada bahan-bahan masakan di depannya. Isah sesaat lagi akan datang dan Euis tidak ingin Isah melihat dirinya menangis.
Tak lama terdengar ketukan di pintu dapur dan salam dari seorang perempuan yang sangat Euis kenal. Perempuan itu bergegas melangkah dan membuka pintu papan kayu di hadapan. Ketika pintu terbuka, tampak wajah Isah yang merasa bersalah.
“Teteh, maaf terlambat. Kang Maman sedang tidak enak badan, jadi harus menyiapkan semua dulu sebelum ke sini.”
Euis tersenyum dan meminta Isah untuk masuk.
“Sakit apa Kang Maman?”
“Demam, Teh. Sepertinya masuk angin,” sahut Isah sembari mulai memasukkan ikan mas goreng ke dalam bumbu yang telah mendidih dalam wajan.
Tangan perempuan itu kemudian mengatur kayu-kayu dalam hawu dan meniupkan udara melalui songsong supaya api tetap terjaga nyalanya.
“Nanti pulang cepat saja, Teh, enggak usah menanti tutup warung. Karunya (kasihan) Kang Maman, lagi sakit ditinggal,” ucap Euis lembut.
“Haturnuhun, Teh.” Isah mengangguk, senyum tersungging di bibirnya.
Isah dengan cekatan menyelesaikan semua tugas yang biasa dia lakukan. Kedua perempuan itu memusatkan perhatian pada aneka masakan yang mereka buat. Pindang ikan mas. Semur jengkol. Ulukuteuk leunca. Ase cabe. Sambal, peuteuy dan bahan-bahan reuceuh telah siap. Semuanya telah tertata di baskom-baskom yang akan mereka bawa ke warung.
Seperti biasa telah ada sebuah delman yang menanti di depan tempat tinggal Euis. Delman yang akan membawa baskom-baskom berisi masakan yang akan dijual oleh Euis.
Tak butuh waktu lama mereka telah berada di warung. Menata semua wadah berisi masakan di meja yang tersedia. Gelas-gelas disiapkan. Begitu pula dengan alas-alas makan. Teko-teko telah terisi teh tawar hangat. Siap menyambut para pelanggan.
Isah memperhatikan Euis. Meskipun sekilas dia bisa melihat, Euis berusaha menahan air mata sekuat tenaga. Hatinya tak terima melihat perempuan di depannya bersedih. Namun, dia tahu pamali bagi dirinya untuk bertanya.
Warung pun siap dibuka. Isah membuka pintu warung dan berdoa semoga hari ini para pembeli akan menyerbu masakan Euis. Kursi-kursi kayu berukuran panjang telah siap menerima para pembeli yang akan mendudukinya. Baru saja Isah hendak membalikkan badan, seorang lelaki menerobos masuk dan berkata pada Euis.
“Nyi, kadieukeun duit!” (Nyi, kesinikan uang)
Euis tertegun sesaat. Berusaha memahami maksud lelaki di depannya. Teja.
“Duit apa, Kang? Warung juga belum buka. Belum ada,” sahut Euis.
“Kamu pikir aku tidak tahu kalau ada duit di kotak itu!”
Tangan Teja menunjuk sebuah kotak kayu bertutup berukuran kecil berwarna coklat kehitaman di bawah meja warung. Euis terdiam. Dia berusaha mencari cara supaya Teja tidak membuka kotak itu.
“Kang, duit yang ada juga untuk persiapan kembalian. Jumlahnya juga tidak banyak. Kalau mau nanti agak siangan, Akang ambil.”
Teja tak memedulikan perkataan Euis. Dengan cepat dia mendatangi kotak kayu itu dan membukanya. Semua isi kotak itu diambil dan dimasukkan dalam saku baju bedahan dan dompet di pinggangnya.
“Kang, jangan diambil semua. Nanti kalau ada pembeli, tidak ada uang kembalian,” bujuk Euis seraya meraih lengan Teja.
“Itu urusanmu!”
Sekali sentak tangan Euis terlepas. Perempuan itu berusaha menghalangi langkah suaminya. Namun seakan dalam pengaruh setan. Lelaki itu mendorong Euis hingga tersungkur dan melangkah pergi.
Isah bergegas membantu Euis duduk. Semua yang dia lihat telah membuktikan apa yang selama ini didengar. Teja suka berjudi dan Euis adalah penghasil uang baginya. Mata Euis basah. Air mata yang selama ini ditahan, akhirnya luruh juga.
“Teh, minum dulu. Biar tenang.”
Isah mengangsurkan segelas teh hangat pada Euis. Perempuan itu menerima dan meneguk perlahan. Air mata masih terus mengalir membasahi pipinya. Euis menutup wajah dengan kedua tangan. Berusaha meredam suara tangisnya supaya tidak terdengar keluar warung. Isah merengkuh kepala Euis dalam dekapan. Dia tahu saat ini hanya dekapan hangat yang diperlukan Euis. Pelan diusapnya rambut Euis yang acak-acakan.
“Sing sabar, Teh … sing sabar ….”
Isah teringat sekian purnama sebelumnya. Euis bertanya bagaimana sebaiknya menghadapi Teja yang terus mendekati. Hati kecil Isah memang tak menyetujui kalau Euis menerima Teja. Entah mengapa dari awal ada rasa tak suka melihat lelaki itu. Namun, Isah juga menyadari tak mudah bagi Euis untuk mendapat lelaki yang bisa menerima masa lalunya begitu saja. Cap sebagai seorang sarina tak akan pernah bisa hilang di masyarakat yang menganut patriarki sangat kuat di Bandoeng.
Kini, waktu telah menunjukkan pada Euis dan Isah siapa Teja. Lelaki pemalas, egois dan suka berjudi itu memang telah menampilkan siapa dirinya. Tak ada jalan bagi Euis untuk kembali. Kehidupan rumah tangga bahagia bersama Teja yang diharapkan hanya tinggal cerita.
#sarina #nyai #nyaibelanda #kisahnyai #gundik #moentji #bandung #fiksisejarah #historicalfiction #history #nyaitentarahindiabelanda #hindiabelanda #tentara #tangsi #barak #lovestory #kisahgundik #bandungbaheula #apnb #najmubooks
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Fiction HistoriqueKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?