“Neng, naha pias?” (kenapa pucat?)
Sorot mata penuh kekhawatiran tersirat dari tatapan Teh Edah kala memandang wajah Euis. Wajah mungil perempuan itu terlihat lelah. Mata yang bengkak tak bisa ditutupi dengan senyum yang dipaksakan. Euis tak ingin membuat Teh Edah khawatir meskipun dia tahu apa yang dilakukan sia-sia belaka. Perempuan yang telah Euis anggap seperti kakaknya itu pasti bisa menduga apa yang terjadi.
“Coba bilang ke Teteh … apa dirimu hamil?”
Tanya itu terlontar juga dari bibir Edah. Euis tahu tak mungkin menutupi semua. Hal lumrah terjadi apabila seorang sarina hamil. Namun, bagaimana nasib sarina yang hamil setelahnya. Hanya hidup yang memiliki jawabnya.
Euis terdiam. Mata besar itu menatap hampa. Dari ekspresi Euis, Edah telah tahu apa jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan. Direngkuhnya tubuh mungil Euis. Mendekap penuh kehangatan. Perasaan sebagai sesama sarina membuat Edah paham apa yang dirasakan oleh Euis.
“Berapa usianya?”
“Duka (tidak tahu), Teh,” sahut Euis tersedu.
Edah mempererat pelukannya. Saat ini hanya pelukan yang sanggup dia berikan untuk menenangkan Euis.
“Tuan kumaha?” (bagaimana dengan tuanmu?)
Tak ada jawaban keluar dari bibir Euis. Hanya tangis lirih yang menggantikan jawaban. Edah menghela napas. Pengalaman sebagai sarina sekian tahun telah mengajarinya banyak hal. Dia paham apa yang terjadi.
“Nanti kita cari jalan keluar,” ucapnya sembari mengelus rambut Euis penuh kelembutan.
***
“Tuan … ampun …jangan, Tuan ….”
Jeritan itu terdengar jelas memecah malam di dalam barak. Suara benda jatuh berkeping-keping menimpali jeritan itu.
“Ik sudah bilang tidak mau, kenapa kamu tidak mau dengar, hah!!"
Suara barang pecah berderai disusul suara pukulan bertubi-tubi makin jelas terdengar. Tak ada seorang pun di dalam barak yang bergerak. Semua seolah tuli.
“Ampun … Tuan … ampun ….”
Edah mendengar suara memelas itu. Dia hafal siapa pemilik suara penuh kesakitan yang dia dengar. Namun, gelengan kepala tuannya membuat dia seakan harus tuli dan tak peduli atas apa yang terjadi.
“Jij jangan ikut urusan mereka.”
Suara sang tuan tegas terdengar di telinga Edah. Perempuan itu mengangguk lemah. Dipijatnya tubuh sang tuan lembut. Dia berusaha memusatkan perhatian untuk memberikan pelayanan terbaik dan menuruti sang tuan. Meskipun dalam hati kecil perempuan itu, ingin rasanya dia berlari menolong pemilik suara memelas itu.
***
Angin bertiup cukup kencang pagi itu. Menebarkan dingin yang makin menusuk kulit. Edah telah selesai menyiapkan semua keperluan tuannya. Sekilas pandangannya tertuju ke satu titik. Ranjang Euis.
Penasaran dan khawatir bercampur dalam hati. Tak biasanya belum terlihat aktivitas Euis. Perempuan itu mati-matian berusaha menahan diri untuk tidak mendekati tempat Euis. Masih dia ingat pesan sang tuan semalam untuk tidak terlibat. Lagi, dia menghela napas. Serasa ada beban berat yang menggantung di pundaknya. Kemudian bergegas melanjutkan aktivitasnya.
Jarum berisi benang itu bergerak lincah di baju sang tuan. Jemari Edah terampil menusukkan satu demi satu jelujur di kain berwarna hijau itu. Satu jelujur baru hendak dia tusukkan ketika dilihatnya tuan Euis memasuki barak dengan sempoyongan. Langkah kaki gempal itu sesekali berhenti. Berusaha menegakkan badan sebelum melangkah lagi. Siapa pun yang melihat akan menyadari kalau lelaki itu mabuk berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?