1907
Waktu terus berganti dan pagi itu Jansen memperhatikan wajah Obie yang terlihat cerah.
“Sobat, tampaknya kau bahagia hari ini?” tanya lelaki itu kemudian meraih cangkir minumnya.
Jansen meminum isi cangkir itu. Namun sorot matanya menyiratkan rasa penasaran. Obie mendekati Jansen kemudian berbisik,
“Ik senang karena esok akan ada yang menemani.”
Kening Jansen mengerenyit. Bola mata kelabunya menyiratkan tanya.
“Ada yang menawarkan prempuan padaku,” jelas Obie memahami siratan mata sahabatnya.
Jansen tersedak. Dia memang tahu hampir setiap tentara di tangsi memiliki sarina. Ada pula yang menyebut mereka moentji. Julukan bagi perempuan yang menjadi pelayan para tentara kolonial ini. Namun, dia tidak menduga Obie akan memiliki sarina juga setelah hampir setahun tinggal di tangsi ini.
“Aku rasa sulit untuk mendapatkan peempuan Eropa, mereka terlalu sedikit,” ucap Obie, "lagipula gaji kita belum cukup untuk memenuhi kebutuhan perempuan Eropa, kau tahu itu.”
Jansen mengangguk pelan. Benar apa yang dikatakan Obie. Perempuan-perempuan yang didatangkan dari Eropa untuk menikah dengan para lelaki Eropa di Hindia Belanda memang sangat sedikit. Selain itu pendapatan sebagai tentara berpangkat rendah seperti mereka, memang tidak akan sanggup memenuhi kebutuhan sebuah pernikahan.
“Jij sudah tahu perempuan itu?” Jansen bertanya pelan.
“Belum tapi dari orang yang membawanya, dia bilang perempuan itu cantik dan cekatan,” sahut Obie tersenyum, “ik juga sudah mendapat izin dari komandan.”
Jansen balas tersenyum kemudian menepuk pundak sahabatnya itu sebelum beranjak pergi.
***
Pagi mulai menggeliat ketika Jansen melihat seorang perempuan berhidung mancung. Berambut hitam kecoklatan. Terlihat jelas dia keturunan Indo Eropa berdiri di samping ranjang Obie. Dia memperkirakan usia perempuan itu dua belas atau tiga belas tahun. Kulit coklat kemerahannya terbalut kebaya putih berlengan pendek.
Obie terlihat berbicara dengan perempuan itu sesaat sebelum melangkah mendekati Jansen.“Mau temani aku ke luar?” Obie bertanya dengan senyum yang menghiasi bibir tipisnya.
Jansen mengangguk. Berdua mereka melangkah meninggalkan barak. Mencari tempat yang nyaman untuk berbincang seperti biasa mereka lakukan. Mereka memilih tempat di bawah sebuah pohon yang cukup rindang.
Obie mengeluarkan sebatang rokok. Menyelipkan di antara bibir kemudian membakar ujungnya. Asap mengepul dari hidung Obie setelah mengisap dengan nikmat rokoknya. Lelaki berambut abu-abu itu menawarkan sebungkus rokok pada Jansen yang mengambil sebatang lantas melakukan hal sama. Menikmati isapan tembakau.
“Ternyata benar perempuan itu cantik. Kau lihat otot lengannya? Kuharap dia bisa mengurusku dengan baik,” ujar Obie tersenyum.
Mendengar ucapan Obie, Jansen pun tersenyum. Memang sudah diketahuinya kalau moentji atau yang dijuluki “Sarina” yaitu perempuan pelayan tentara kolonial bukan hanya pribumi asli. Banyak dari mereka merupakan keturunan dari wanita pribumi dan pria Eropa yang menghasilkan keturunan berwajah Indo Eropa. Banyak liplappen begitu mereka disebut yang kelak menjadi sarina karena tuntutan ekonomi. Mereka anak-anak yang tak diakui oleh ayah kandungnya.
Jansen mulai terbiasa dengan kehidupan tangsi yang bercampur budaya dan ras, Pendidikan agama yang dia dapat sejak kecil saat di Holland memang cukup kuat. Namun, harus dia akui sebagai pria tak mudah melalui hari tanpa perempuan. Hawa Bandoeng yang dingin membuat para tentara mencari kehangatan dari para perempuan di sekitar tangsi. Bagi yang memiliki sarina, mereka bisa memenuhi hasrat dengan menghabiskan malam bersama sarina-nya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?