BAB II Part 2 Jansen

423 39 2
                                    

Senja itu seperti hari-hari sebelumnya, tempat makan Uwa Euncih dipenuhi para pelanggan. Tempat makan itu terbilang cukup besar dibanding lainnya dan komplit. Di salah satu sudut ruangan terlihat dua orang lelaki berwajah Eropa tengah menikmati pesanan mereka. Cangkir yang tersaji di depan mereka masih mengepulkan asap. Menguar wangi jahe dan legitnya gula aren. Di atas meja itu tersaji pula sepiring pisang rebus yang masih mengepul.

“Jij harus mencoba minuman ini, rasanya sangat enak,” ucap Obie, salah seorang lelaki itu.

Lelaki yang duduk di depan Obie tersenyum seraya meneguk pelan cairan dalam cangkir yang dia pegang.

“Bagaimana? Kau menyukainya, Jansen?” tanya Obie dengan sorot mata menggoda.

“Enak sekali, ik suka. Apa namanya?” tanya Jansen penasaran.

“Dia bilang nama minuman ini Bandrek,” jawab Obie seraya menunjuk dengan isyarat mata ke arah Uwa Euncih yang sedang sibuk melayani pembeli, “pelan-pelan minumnya, isi cangkir ini tidak murah,” kelakar Obie.

Jansen tersenyum lagi. Dia mengagumi selera Obie. Dia yakin, sahabatnya ini telah beberapa kali ke tempat makan ini. Minuman asli Bandoeng ini baru dicobanya dan lelaki berbibir tipis itu merasa minuman ini cocok dengan seleranya. Baru dua bulan dia tinggal di Bandoeng dan semakin hari semakin menyukai kota ini. Rasa yang sejenak mampu melipur kerinduan pada kampung halaman nun jauh di sana.

1906
Tahun ini Jansen berusia dua puluh tiga tahun. Usia yang masih belia. Namun di usia itu Jansen telah merasakan kerasnya kehidupan. Sama sekali tak disangka oleh lelaki itu, nasib membawa langkahnya menyeberangi lautan. Meninggalkan tanah kelahiran. Holland.

Menjadi piatu sejak usia lima belas tahun. Jansen memiliki dua saudara yaitu Annelise dan Karel. Ayah Jansen seorang tukang kayu yang upahnya tak cukup untuk membiayai kehidupan mereka. Namun, sang ayah selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga. Mendidik anak-anak penuh kehangatan dan taat beragama. Annelise, kakak perempuan Jansen telah menikah kini dan hidup terpisah dengan mereka. Si bungsu Karel masih menyelesaikan pendidikannya.

Selepas lulus sekolah, Jansen sempat mengikuti jejak sang ayah menjadi tukang kayu. Namun, dia merasa kehidupan tak juga membaik. Dia tak ingin hidupnya berakhir seperti sang ayah. Hingga suatu hari sampailah kabar dari teman ayahnya bahwa Ratu membuka lowongan untuk para pemuda menjadi tentara di tanah koloni yang disebut Hindia Belanda.

Keinginan untuk mengubah nasib membuat Jansen bertekad untuk mencoba peruntungan. Hal yang awalnya ditentang oleh ayah dan Annelise karena rasa khawatir kehilangan Jansen di tempat yang terpisah jarak belasan ribu kilometer. Dengan tekad yang tak terbendung. Melalui percakapan panjang selama berhari-hari, Jansen akhirnya mendapat izin keluarga. Setelah mengikuti semua prosedur. Kini, di sini dia berada. Bandoeng, tempatnya ditugaskan. Kota yang baru saja menjadi Gemeente. Perubahan administratif yang membawa banyak perubahan perekonomian bagi Bandoeng. Kota berhawa sejuk yang dianugerahi keindahan alam.

Kehidupan sebagai tentara mengharuskan Jansen tinggal di tangsi bersama para tentara lainnya. Mereka tak hanya berasal dari Holland, namun juga dari daerah lain di Hindia Belanda dan koloni lain. Tentara Jawa, Ambon, Afrika dan Eropa berkumpul menjadi satu dalam tangsi. Mau tidak mau membuat mereka harus mampu beradaptasi dengan perbedaan budaya dan bahasa. Jansen merasa harus bisa menjalani kehidupan barunya demi mewujudkan apa yang dia harapkan.

Jansen pun bersyukur bisa bertemu dengan Obie. Pertemuannya dengan Obie di atas kapal laut yang membawa mereka ke tanah koloni ini membuat mereka menjadi dekat dan bahkan bersahabat. Dan beginilah mereka menghabiskan libur saat akhir pekan. Menikmati kehidupan di luar tangsi untuk beberapa waktu.

“Hei, kau lihat itu?” Ucapan Obie menyadarkan Jansen dari lamunan.

Jansen mengikuti arah pandangan Obie. Pandangannya tertumbuk pada seorang perempuan muda yang terlihat mungil di balik stoples-stoples kaca berisi makanan yang berjajar. Dia memperkirakan perempuan itu berusia sekitar empat belas atau lima belas tahun. Rambutnya hitam legam, disanggul dengan rapi. Bertubuh langsing dengan wajah mungil. Mata bulat besar dihiasi alis yang berjajar rapi bak semut beriring dan bentuk bibir yang melengkung indah serta kulit kecoklatan melengkapi keeksotisan perempuan muda itu. Paras yang memesona di mata lelaki itu.

“Jij menyukainya?” Pertanyaan Obie mengagetkan Jansen.

“Ahh … kau ini, aku ingin menikmati bandrekku saja,” jawab Jansen menghindari pertanyaan Obie.

“Kalau kau menyukainya, Ik bisa bantu bilang ke pemilik tempat makan ini,” ucap Obie bersungguh-sungguh.

“Sudahlah, habiskan saja isi cangkirmu,” sahut Jansen tak ingin meneruskan pembicaraan tentang perempuan yang dilihatnya.

“Jij … memang betul-betul, ya ….” Obie pura-pura mendengus kesal.

Jansen meneguk bandreknya, dia pura-pura tak mendengar ucapan Obie. Lelaki itu tak ingin menambah masalah dalam hidupnya. Dia ingin meluruskan niat untuk benar-benar mencari peruntungan di negeri ini. Memperbaiki kehidupan sebagai bekal kembali ke tanah kelahiran.

***

-bersambung-

#sarina  #APNB2021 #najmubooks #bab2part2

SarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang