Mentari telah meninggi ketika Jansen dan Euis tiba di barak. Euis segera membereskan bekas bekal yang dibawa. Perempuan itu melangkah meninggalkan Jansen. Tujuannya ke sebuah bangunan di samping baraknya. Tempat di mana para sarina biasa memasak dan menyiapkan semua kebutuhan sang tuan. Sedangkan Jansen bersiap melanjutkan kerajinan kayunya.
"Jij senang?"
Jansen membalikkan badan. Matanya menangkap sosok sahabatnya, Obie. Lelaki itu berdiri di ujung ranjang Jansen. Mata Obie mengerling dan Jansen paham apa makna tatapan sahabatnya itu.
"Tentu saja. Namun, yang terpenting ik bisa menyenangkan hati Euis," sahut Jansen tersenyum.
"Dia pasti senang, jij sangat memperhatikan dirinya. Ohya, apakah kalian sudah bersama?"
Senyum Obie melebar dan mengedipkan mata ke arah lelaki bertubuh tinggi di depannya. Jansen mendorong tubuh Obie. Dia tak ingin Obie makin menggoda dirinya.
"Ah, sudah sana kembali ke tempatmu. Aku sibuk," ucap Jansen dengan wajah yang dibuat masam.
Melihat tampang Jansen, Obie menepuk bahu lelaki itu. Dan melangkah menuju ranjangnya seraya terkekeh. Tawa renyah Obie masih terdengar jelas di telinga Jansen hingga membuat lelaki itu hanya mampu menggelengkan kepala. Sahabat karib Jansen itu memang tak pernah berhenti menggoda kalau sudah menyangkut Euis.
***
Senja menjelang ketika Euis dan Jansen memasuki barak. Mereka baru saja kembali dari tempat makan Uwa Euncih. Dua pekan sejak kembalinya Jansen, Euis ingin bersua dengan Uwa Euncih. Lelaki itu tak mengizinkan sarina-nya pergi sendiri. Jansen ingin mengantar Euis bertemu Uwa Euncih. Cukup lama mereka berbincang dengan Uwa Euncih sebelum kembali ke tangsi.
Baru saja Jansen hendak berganti pakaian ketika seorang Jan Fuselier mendekati ranjang di mana lelaki itu berada. Wajah tentara itu memucat. Tatapannya tampak kosong. Setelah berhadapan dengan Jansen, lelaki yang Euis tahu bernama Tuan Johannes itu berucap penuh ketergesaan.
"Obie ... sesuatu terjadi pada Obie ...."
Mata Jansen tajam menatap Johannes. Tangan berotot itu memegang pundak Johannes erat. Bibir tipis tuan Euis itu membuka dan bertanya,
"Jij bilang apa? Ada apa dengan Obie?"
"Obie ... dia sakit, mendadak demam. Panasnya tinggi. Sekarang Obie ada di zaal perawatan," jelas Johannes.
Wajah Jansen memutih. Dia termangu sesaat. Tangan yang memegang pundak Johannes terlepas. Kebingungan sempat menyergapnya. Namun, beberapa detik kemudian kesadarannya kembali.
"Kita ke ke sana sekarang," ucap Jansen.
Ketegasan tersirat dari nada suaranya. Lelaki itu menjelaskan apa yang terjadi pada Euis dengan singkat kemudian bergegas melangkahkan kaki setengah berlari menuju bangsal perawatan di salah satu bagian tangsi diikuti Johannes.
Ketika sampai di bangsal, langkah mereka terhenti di depan pintu berbahan kayu jati tua itu. Seorang dokter yang mengenali Johannes mengajak mereka masuk ke sebuah ruangan. Terlihat ranjang berjajar rapi memenuhi ruangan berwarna putih itu. Beberapa ranjang terisi. Mereka adalah pasien yang harus menjalani perawatan di tangsi ini.
Dokter itu melangkah dan mendekati salah satu ranjang. Berbaring di atas ranjang besi itu Obie, sahabat Jansen yang tampak tertidur. Jansen tertegun, dia tak menduga akan melihat Obie dalam kondisi seperti itu. Tak nampak lagi keceriaan yang menjadi ciri khas Obie.
Dokter tentara itu mengajak Jansen dan Johannes menuju ke salah satu sudut ruangan. Dengan pelan dia menjelaskan kondisi Obie. Jansen menyimak penjelasan sang dokter. Lelaki berjenggot di hadapan Jansen itu berusaha menjelaskan sedetail mungkin dengan bahasa yang dipahami Jansen tentang penyakit Obie. Setelah merasa penjelasannya cukup, dokter itu menepuk pundak Jansen kemudian meninggalkan Jansen dan Johannes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?