“Kumaha, Kang, lanjut?”(bagaimana, Kang, berlanjut?)
Seorang lelaki bertanya pada Teja. Lelaki itu duduk melingkar di atas tikar pandan bersama beberapa lelaki lainnya. Di masing-masing tangan lelaki itu terdapat kartu-kartu yang akan menentukan nasib mereka. Kalah atau menang dalam permainan yang sedang mereka lakukan.
“Lanjut, atuh.”
Teja tertawa seraya menaruh beberapa uang logam di hadapannya. Seringai tawa tergambar dari bibir-bibir para lelaki lainnya.
“Bisa aja Akang cepat dapat duit.”
Seorang lelaki tertawa seraya menatap Teja dan tumpukan uang logam di atas tikar pandan itu.
“Atuh Teja tea ….”
Tawa keluar dari mulut Teja. Tangan kanannya menepuk dada kirinya yang membusung. Tawa berderai keluar dari mulut para lelaki itu. Mereka pun melanjutkan permainan yang sempat terhenti.
Waktu terus bergulir, Teja membanting kartu-kartu yang dipegang. Air mukanya keruh. Rokok yang terselip di bibirnya diisap kuat-kuat kemudian mengembuskan asap tembakau itu memenuhi ruangan.
“Kumaha, Kang Teja?” (bagaimana)
“Sudah kalah, aku pulang saja.”
Lelaki itu berdiri dari duduknya. Melangkahkan kakinya yang berat, meninggalkan tempat di mana dia telah bernasib sial lagi.
***
“Nyi … aku mau makan!”
Teriakan Teja membuat ruangan itu sedikit bergetar. Euis dengan tergopoh-gopoh datang dan membawa beberapa wadah berisi masakan. Menyajikan di depan Teja yang duduk di atas tikar pandan dengan posisi memeluk sebelah kaki.
Mata lelaki itu menatap masakan yang terhidang. Menaruh nasi di selembar daun pisang dan menaruh sayur beserta lauk di atasnya. Sesuap dia masukkan ke dalam mulut. Sekali kunyahan, nasi dalam mulut dimuntahkannya.
“Kenapa rasanya enggak enak? Makin hari masakanmu makin tidak karuan. Mana ayam pejantan yang biasa kumakan?!” tanya Teja dengan mata memerah.
“Habis, Kang. Tadi warung ramai sekali. Abdi (saya) lupa menyisihkan ayam kesukaan Akang,” sahut Euis tertunduk.
“Dasar perempuan tak tahu diri. Jadi istri enggak becus. Menyenangkan hati suami saja enggak bisa!”
Sumpah serapah keluar dari mulut Teja. Bak mitraliur yang menembakkan peluru tanpa henti. Euis makin tertunduk. Perih hatinya mendengar kata-kata menyakitkan dari bibir lelaki yang seharusnya menjadi pelindung. Namun, malah menjadi benalu bagi hidup perempuan itu.
Kehidupan bahagia dalam rumah tangga mereka hanya fatamorgana. Setelah puas mencaci maki. Teja beranjak mendekati lemari di mana Euis biasa menyimpan dompet. Mencari-cari namun tak menemukan apa yang dia inginkan.
“Mana loket?” (mana dompet?)
Mata Teja makin memerah. Wajahnya makin gelap. Euis terdiam. Dia tahu apa yang diinginkan suaminya. Melihat Euis yang tak menggubris, Rahang Teja mengeras. Sorot matanya menajam. Langkah lelaki itu mendekati Euis dan menarik tubuh perempuan mungil itu dengan kasar. Ditariknya bengkung yang melingkari pinggang Euis. Mencari-cari. Akhirnya Teja mendapatkan yang dia inginkan. Buntalan kain kecil berisi uang milik Euis telah digenggamnya.
“Kang, jangan diambil semua. Abdi teh belum belanja untuk besok.”
Teja tak memedulikan perkataan Euis. Bengker yang tergeletak di atas tikar pandan diraihnya. Menatanya di atas kepala dan melangkah keluar rumah. Meninggalkan Euis tanpa rasa bersalah.
***
Isah memasukkan beberapa gelas bersih ke dalam rak-rak kayu yang telah dicucinya. Menata dengan penuh kehati-hatian. Perhatiannya terpusat pada gelas- gelas itu hingga sebuah suara yang dia kenal terdengar di gendang telinga. Kepala Isah menoleh cepat dan melihat Kang Maman, suaminya berdiri di depan pintu warung.
“Mangga kalebet, Kang.” Euis mempersilahkan lelaki itu untuk masuk.
“Di sini saja, Teh Euis. Maaf ada perlu dengan Isah,” sahut Maman seraya memberi isyarat pada Isah untuk mengikutinya keluar warung.
“Punten, Teh.”
Isah meminta izin untuk mengikuti suaminya pada sang majikan. Euis mengangguk dan mempersilahkan Isah menyusul suaminya. Terdengar bisikan suara Isah dan Maman sayup-sayup. Namun, Euis tak memedulikan.
Pamali mendengar pembicaraan orang lain, batinnya.
Perempuan itu kembali memusatkan perhatian untuk membersihkan dan membuat rapi semua sebelum menutup warung dan pulang.
“Teh, sebaiknya Teteh pulang sekarang ….”
Tiba-tiba suara Isah terdengar memenuhi ruangan warung itu. Euis berbalik. Matanya tertumbuk pada sosok dua manusia di depannya. Isah dan Maman. Tanya menggelayut di hati Euis. Tak biasanya Isah meminta dirinya untuk kembali ke rumah seperti ini.
“Ada apa, Teh? Warung belum selesai dirapikan, sebentar lagi,” ucap Euis penasaran.
“Sebaiknya Teteh pulang sekarang. Warung biar nanti lagi. Yang penting Teteh pulang dulu.”
Maman, suami Isah ikut berucap. Euis merasakan ketidakberesan dari bahasa tubuh kedua orang di depannya. Rasa penasaran memenuhi kepala Euis. Dia tahu akan mendapat jawaban apabila telah sampai di rumah.
Euis melangkah keluar. Tampak sebuah delman telah menanti di depan warung. Rupanya Maman telah memanggil delman itu untuk mengantar Euis pulang. Waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Euis. Dia ingin segera sampai ke tempat di mana dia tinggal. Hatinya terus bertanya,
Ada apa sebenarnya ini?
Delman itu pun sampai di mana Euis tinggal. Perempuan itu terperanjat kala melihat barang-barang miliknya telah berada di luar rumah. Beberapa lelaki tampak mengeluarkan barang-barang yang tersisa. Setelah membayar delman, bergegas Euis mendekat dan bertanya pada seorang lelaki.
“Siapa yang mengizinkan untuk mengeluarkan barang-barang ini?”
Sesosok lelaki gempal mendekati Euis. Menatap perempuan itu dengan senyum, lebih tepat disebut seringai di bibirnya yang berbau tembakau.
“Rumah ini sudah digadaikan Kang Teja berikut warung tempat jualan Teteh.”
Nada kalimat lelaki itu terdengar biasa tapi bagi Euis bak petir di siang hari bolong. Mata perempuan itu menatap tak percaya lelaki di hadapannya.
“Mak … maksudnya bagaimana?”
“Kang Teja kalah judi dan berutang pada juragan abdi, Teh. Jaminannya rumah dan warung tempat jualan Teteh. Hari ini jatuh temponya dan tadi siang Kang Teja sudah bilang ke juragan untuk ambil saja jaminan yang diberikan. Apa Teteh tidak tahu?”
Jawaban Euis tak diperlukan lagi. Tubuh perempuan itu yang jatuh terduduk ke tanah telah menjawab pertanyaan yang diberikan.
Sorot mata lelaki itu terlihat iba. Sering sekali dia menyaksikan hal seperti ini. Suami yang asyik berjudi hingga melupakan tanggung jawab sebagai layaknya suami. Bahkan mengambil apa pun yang tersisa demi menghabiskannya lagi di meja judi.
Pipi Euis membasah. Air matanya menderas dengan cepat. Pikirannya mendadak kosong. Ada tanya menekan dada.
Ke mana aku harus pergi?
-bersambung-
#sarina #apnb2021 #najmubooks #moentji #nyai #kisahnyai #fiksisejarah #historicalfiction #history #fiksi #lovestory #tentara #bandung #tentarahindiabelanda #tangsi #barak #nyaitentarahindiabelanda
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?