Jemari Tuan Ruud mengusap pipi Euis yang basah. Lagi-lagi dengan penuh kelembutan, jemari pucat itu berusaha menghapus air mata dari pipi sarina-nya. Hal yang justru membuat air mata perempuan mungil itu makin menderas.
“Ik paham apa yang jij rasa, jangan khawatir sudah kupersiapkan segala sesuatunya untuk jij sebelum pergi.”
Ucapan sang tuan terdengar sangat menenangkan. Mata basah Euis menatap bola mata coklat di depannya penuh perasaan. Hatinya mulai menghangat. Sekian bulan bersama lelaki ini, Euis menyadari bahwa Tuan Ruud memang sangat berbeda dengan tuan sebelumnya. Lelaki berwajah tirus di hadapannya ini sangat memegang janji yang telah dibuat. Dia akan berusaha menepati apapun janji itu.
“Tersenyumlah, aku kehilangan wajah ayumu kalau terus menangis seperti ini.”
Euis tersipu kala mendengar ucapan sang tuan. Lelaki bermata coklat ini memang tak banyak bicara. Namun, saat dia berbicara. Kalimat indah selalu mengalir dari bibir tipis itu.
Jemari Tuan Ruud kini berpindah ke mata bulat Euis. Menghapus sisa-sisa air mata yang menggelayut di bulu mata sarina-nya. Menarik pipi Euis lembut untuk membuat perempuan itu tersenyum. Garis senyum tergambar samar di bibir Euis.
“Lihat … kalau tersenyum begini, wajah ayumu membuat ik senang.”
Perempuan itu menundukkan wajah yang bersemburat merah. Dia menyukai apa pun yang dilakukan sang tuan. Satu-satunya lelaki yang selalu memperlakukan Euis layaknya manusia. Bukan hanya kebutuhan jasmani semata.
Jari Tuan Ruud mengangkat dagu lancip sang sarina. Menatap sangat dalam bola mata hitam milik perempuan itu. Senyum menghiasi bibir sang tuan. Dan senyum itu menular pada Euis.
Aku akan selalu merindukan Tuan Ruud, batin Euis.
***
Euis melangkahkan kaki yang terbalut samping. Kain batik bermotif bunga-bunga kecil itu tersibak kala kaki jenjang itu melangkah. Klompen bergambar bunga menutup telapak kakinya. Sejak bersama Tuan Ruud, semua hal yang dulu hanya bisa Euis bayangkan bisa dia miliki. Sang tuan selalu berusaha menyenangkan sarina-nya dengan membelikan apa pun yang menurutnya cantik untuk dipakai sang sarina.
Dia memasuki tempat makan di mana dulu dia pernah bekerja. Mata bulat itu mengedarkan pandangan mencari sosok perempuan yang ingin dia temui. Namun, dia tak melihat Uwa Euncih. Tempat makan itu belum terlalu penuh. Hanya dua orang pribumi yang duduk di kursi kayu panjang menikmati kopi yang masih mengepulkan asap.
Di sudut lain, dua orang tentara Eropa tampak menikmati kudapan beserta minuman yang tersaji di depan mereka. Euis melangkah mendekati meja di mana seorang pelayan Uwa Euncih yang dia kenal, terlihat sedang merapikan stoples-stoples kaca beisi aneka panganan.
“Wa Euncih aya?” (Wa Euncih ada?) tanya Euis pelan.
“Aya, Teh, mangga kalebet,” (ada, Teh, silahkan masuk) sahut gadis muda itu tersenyum.
Euis melangkah ke arah belakang tempat makan Uwa Euncih. Dia masih hafal setiap sisi rumah Uwa Euncih. Diketuknya pelan pintu rumah yang pernah menjadi tempatnya bernaung beberapa tahun silam. Tak perlu menanti lama, daun pintu kayu itu terbuka. Wajah perempuan paruh baya yang dia cari tersembul dari balik daun pintu.
“Neng, kirain siapa ... ayo, masuk.”
Sambutan ramah Uwa Euncih selalu membuat Euis rindu untuk bersua dengan mantan majikannya ini. Perempuan muda itu memasuki rumah setengah tembok yang masih saja sama seperti saat dia tinggalkan dulu.
“Bagaimana kabarnya, Neng? Sudah cukup lama dirimu tidak ke sini.”
Euis mengangguk pelan. Dan jawaban perempuan bertubuh langsing itu membuka obrolan panjang di antara mereka berdua. Euis menceritakan apa yang akan dia alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Fiksi SejarahKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?