1912
“Teh, meuni (sangat) rajin sudah siap-siap.”
Isah tersenyum kala Euis menoleh padanya.
“Teh Isah juga sudah siap-siap,” ucap Euis balas tersenyum.
“Ai abdi mah nuju hoream di bumi. (kalau aku sedang malas berada di rumah) Jadi aja datang lebih awal,” sahut Isah tertawa.
Garis bibir Euis makin melebar mendengar jawaban Isah. Kepala mungil itu menggeleng-geleng sejenak sebelum kembali memusatkan perhatian menata barang dagangannya. Enam purnama sudah Euis mencoba peruntungan di Pasar Baroeweg. Menjual aneka masakan yang dia bisa.
Bermodalkan uang yang diberikan sang tuan, Jansen, padanya. Setelah belajar beberapa pekan di tempat makan Uwa Euncih untuk memantapkan diri dan hati. Euis pun menjual hasil masakannya. Bermula dari membawa sekeranjang bambu berisi aneka wadah berisi masakan. Pembeli hanya diberi alas seadanya untuk duduk. Tak dinyana masakannya sangat disukai para pembeli. Setiap hari selalu ludes tanpa membutuhkan waktu lama.
Sekian purnama berselang, kini Euis telah mampu menyewa sebuah tempat kecil di sudut Pasar Baroeweg. Dia kini dibantu Isah, seorang perempuan yang dia kenal dari Uwa Euncih. Perempuan yang selisih usianya tak jauh berbeda dari Euis. Perempuan yang sangat rajin dan teliti.
“Teh, Kang Karna sudah bayar utang?” tanya Isah sembari menata beberapa masakan di atas meja kayu di depannya.
Euis menggelengkan kepala.
“Teteh mah bageur pisan. (Teteh terlalu baik) Kalau begitu terus, Teteh bisa habis modal. Kumaha (bagaimana) kalau modal habis. Enggak bisa dagang atuh.”
Cerocosan terdengar dari mulut Isah. Meskipun hubungan mereka adalah majikan dan pegawainya. Namun, kedekatan emosional membuat mereka layaknya saudara.
“Doakan saja rezekiku mengalir terus, Teh,” ucap Euis tersenyum.
“Pasti eta mah. Kalau enggak bisa dagang lagi, gimana nasibku?” sahut Isah balas tersenyum.
Kedua perempuan itu saling berpandangan sesaat. Kemudian kembali memusatkan perhatian untuk menata semua wadah berisi aneka masakan sebelum tempat makan itu dibuka. Setelah semuanya siap, Euis pun membuka warungnya.
Para pembeli mulai berdatangan. Mereka telah menjadi pelanggan setia. Para pedagang di Pasar Baroeweg maupun orang-orang yang berbelanja. Masakan Euis yang lezat mulai dikenal dan warung makan itu memang tak pernah sepi pembeli.
Hari telah beranjak siang kala seorang lelaki memasuki warung Euis. Berdiri di depan meja berisi aneka masakan dan memilih menu yang diinginkan. Isah segera menyiapkan pesanan dan menghidangkan ke meja di mana lelaki itu berada. Dengan lahap lelaki itu menikmati makanan yang terhidang beralas daun pisang.
Mata hitam itu berbinar. Lidahnya tak henti bergoyang merasakan aneka rempah terpadu indah dalam masakan yang dia suapkan. Tak butuh waktu lama alas daun pisang itu telah bersih. Tak ada sisa masakan di atasnya. Air teh tawar yang disediakan segera dia teguk. Berlanjut dengan menyalakan sebatang rokok yang dia ambil dari saku bajunya dan mengisap penuh nikmat. Asap tembakau mengepul dari mulut dan hidung lelaki itu.
Tatapan lelaki itu beralih ke arah Isah dan Euis berada. Keduanya terlihat sangat sibuk melayani para pembeli. Lelaki itu terus menatap tanpa kedip. Menyaksikan kedua perempuan di depannya. Tak ada kata yang terucap. Hanya sorot mata dari mata lelaki itu yang menyiratkan keingintahuan. Beberapa menit berlalu. Setelah rokok di tangannya telah habis terbakar, lelaki itu pun berucap,
“Teh, berapa semua?”
“Atos? (sudah?) Teh Isah, tadi Aa’ ini pesan apa saja?” tanya Euis. (Aa’ adalah sebutan populer untuk lelaki di Sunda)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarina
Historical FictionKisah Euis, perempuan melankolis berdarah Sunda yang menjadi nyai tentara kolonial Hindia Belanda karena terpaksa. Apakah Euis akan menemukan cinta sejatinya?