BAB III Part 2 Realita

334 35 5
                                    

Semuanya berjalan begitu cepat rasanya bagi Euis. Setelah bertemu dengan lelaki asing yang kelak akan menjadi tuannya. Menjalani semua prosedur sebelum memasuki tangsi. Kini, di sini dia berada. Di pinggir ranjang seorang lelaki yang jelas-jelas asing bagi dirinya. Kepalanya menunduk. Dengan gelisah dia meremas-remas ujung kebaya yang membalut tubuh langsingnya.

“Di sini kita akan tinggal. Bantu semua urusan saya untuk beres, ya?"

Ucapan lelaki itu terdengar jelas di telinga Euis. Kepala mungil itu mengangguk. Kemudian dia mendengarkan apa yang diucapkan tuannya. Berusaha memahami apa saja yang harus dia kerjakan. Euis telah memilih jalan hidupnya. Menjadi seorang sarina tentara kolonial Hindia Belanda. Perempuan itu akan menghabiskan waktunya bersama lelaki berkulit pucat, bermata biru dengan rambut coklat kekuningan yang mengingatkan Euis akan rambut jagung.

***

Hari demi hari berlalu. Euis dan sang tuan jarang berbicara. Perempuan itu tak  memahami bahasa tuannya, begitu pun lelaki itu tak memahami bahasa ibu Euis. Mereka berbicara menggunakan bahasa isyarat yang mereka pahami. Dengan keadaan seperti itu, Euis tetap berusaha melakukan semua tugasnya sebaik mungkin. Mengurus semua keperluan sang tuan hingga lelaki itu merasa puas. Meskipun mereka jarang berbicara, setidaknya Euis tahu nama lelaki bertubuh tinggi itu. Tuan Barend.

Euis tahu bahwa menjadi pelayan harus bersedia melakukan semua hal yang diinginkan sang tuan termasuk menjadi teman tidur. Namun, sampai hari ini, hampir satu purnama. Tuan Barend belum pernah menyentuhnya. Lelaki itu sangat baik dan sopan. Euis mulai percaya bahwa kehidupannya akan menjadi lebih baik.

***

Gunung Tangkuban Parahu tampak samar di kejauhan. Puncaknya yang terlihat seperti perahu terbalik tertutup halimun. Dingin menusuk kulit Euis. Namun perempuan itu tak menghiraukannya. Pagi ini Tuan Barend akan ke Batavia. Melaksanakan perintah yang diberikan oleh sang komandan. Euis harus menyiapkan semua keperluan sang tuan selama perjalanan dan di Batavia.

Semua barang dan makanan yang diperlukan dimasukkan dalam tas sang tuan. Perempuan itu memastikan tak ada yang tertinggal. Meskipun menggunakan kereta api yang menjadi moda transportasi tercepat, perjalanan ke Batavia tidaklah sebentar.

“Sudah semua?”

Suara Tuan Barend terdengar di belakang punggung Euis. Perempuan itu membalikkan badan dan mengangguk. Tuannya memeriksa tas dengan saksama. Senyum puas menghiasi bibir lelaki itu. Tampaknya dia menyukai hasil kerja Euis.

“Hatur … nuhun ….”

Lelaki berwajah bulat dengan pipi kemerahan itu mengucapkan terima kasih dalam bahasa ibu Euis dengan terpatah-patah. Euis tersenyum. Dia menundukkan wajah ketika Tuan Barend menatapnya. Beberapa detik berselang lelaki itu telah berdiri di hadapan Euis. Jemari lelaki itu mengangkat dagu perempuan bermata bulat itu. Menatap dalam mata Euis penuh kelembutan. Kemudian lelaki itu mengambil tangan sarina-nya. Membuka telapak tangan perempuan itu dan mengisinya dengan beberapa uang koin.

Euis menatap bulatan-bulatan logam itu sebelum mengalihkan pandangan pada sang tuan. Lelaki itu mengangguk sembari tersenyum. Jemari pucatnya membelai rambut Euis penuh kelembutan kemudian beranjak mengangkat tas.

“Ik pergi ….”

Ucapan lembut meluncur dari bibir Tuan Barend sebelum melangkah ke luar barak. Euis menatap punggung tuannya yang perlahan makin menghilang dari pandangan. Senyum menghiasi bibir perempuan itu. Dia tak sabar menanti dua pekan, saat tuannya kembali ke barak.

***

Mata bulat itu basah. Air mata tak henti membasahi pipi halus Euis. Sorot mata yang menyimpan kebingungan akan kabar yang dia terima hari ini masih tak bisa dia percaya. Tuannya tak akan pernah kembali. Euis tak akan bisa bersua dengan Tuan Barend lagi.

Entah apa yang terjadi di Batavia. Sendu menyelimuti wajah beberapa tentara kawan Tuan Barend. Hal yang seolah menguatkan kabar bahwa tuan Euis tak akan pernah kembali. Juga memberikan kepastian pada perempuan itu bahwa dia telah kehilangan sang tuan untuk selamanya.

***

Sang surya telah tenggelam kala Euis masuk ke barak. Malam ini akan berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Setelah dia mendapat kabar mengenai Tuan Barend. Tak ada lagi sosok lelaki bermata biru itu. Masih tajam dalam ingatan Euis, senyuman terakhir sang tuan sebelum pergi. Senyum yang tak akan pernah dia lihat lagi utnuk selamanya.

Langkah perempuan itu mendadak terhenti ketika makin mendekati ranjangnya. Mata yang masih bengkak itu melihat seorang lelaki berdiri di samping ranjang yang tertutup jerami. Tubuh gempal terbalut seragam tentara tangsi.

Sosok itu seakan menyadari ada yang memperhatikan. Lelaki itu segera membalikkan badan dan menatap perempuan yang berdiri mematung berjarak beberapa langkah darinya. Euis melangkah mendekat dan kini dia bisa melihat lebih jelas.

Lelaki itu tak terlalu tinggi dibanding Tuan Barend. Bermata besar dengan bola mata berwarna coklat. Jenggot menghiasi dagunya yang bulat. Bintik-bintik kecoklatan menghiasi pipi yang sedikit tembam. Bau jenever keluar dari hela napasnya.

“Kamu jadi milik ik sekarang.”

Kalimat itu keluar dari bibir tebal kehitaman karena tembakau milik lelaki di hadapan Euis. Memasuki gendang telinga perempuan itu. Dia belum memahami apa yang terjadi. Tanpa diduga, beberapa detik kemudian, tangan lelaki itu telah mendorong Euis ke ranjang. Bak singa kelaparan, lelaki itu menindih Euis. Meskipun berusaha melawan. Namun, tubuh langsing itu tak mampu menahan tubuh gempal lelaki yang mabuk itu. Euis membuka mulut bersiap menjerit. Lelaki itu seakan tahu apa yang akan dilakukan Euis. Tangan kasarnya membekap mulut mungil perempuan yang dia tindih.

“Jij harus layani ik dengan baik!”

Perintah itu terdengar jelas di indra pendengaran Euis. Pandangannya mengabur. Dia tahu apa yang akan terjadi. Paham bahwa hidup menjadi seorang sarina tak mudah. Namun, sama sekali Euis tak mengira kehidupan berubah begitu cepat bagi dirinya.

***

#sarina #bab3part2 #apnb #najmubooks

SarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang