Part 12
Garis Kulminasi
Petang itu cukup lenggang terlebih sekedar menghirup udara segar, membaurkan sebentar antara angan dengan delusi yang deras berkucuran. Bebas menyebrangi andai-andai tanpa tepi. Entah pada lembaran yang mana, tetapi kali ini sesaknya terasa beda. Mau sebesar lapang dari teguh gadis itu berasal, rasa-rasanya tetap bakal lunglai di titik paling rentan dari seorang makhluk bernamakan manusia. Bertahan maupun melepaskan, keduanya sama-sama memakan banyak waktu juga rancu. Ini legal, dan bukan hal yang jarang tersentuh ranahnya. Semuanya kembali pada takaran baik dan salah, terbagi sama rata.
Nara melangkah lunglai memasuki kamarnya, dengan tampang muram juga tas yang dibiarkan menyapu lantai ditariknya pelan seiring pintu ruang itu ditutup pelan. Hazel sibuk memandang beberapa figura poto Nara seorang yang tergeletak di atas lemari berisi novel-novel koleksinya. Dia buru-buru mengalihkan pandang tatkala suara bedebam sebab Nara yang menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Hazel sontak berjalan menghampiri gadis itu, dia menarik kursi dari meja belajar lantas memposisikan dirinya dekat dengan tuan rumah.
"Kayaknya gue datang di waktu yang kurang tepat, ya, Na?" ucap Hazel sembari menundukan pandangannya, gadis itu ikut bimbang. Memilih larut dalam keheningan dalam ruang, mengiringi tangis Nara samar. Hazel mengusap lembut punggung temannya.
"Maaf---" Suara Nara tercekat, serak membuat tenggorokannya terasa sesak.
"Gue tahu maksud lo ke sini mau cerita soal masalah lo, tapi gue sendiri malah kebawa masalah." Mata Hazel ikut memerah, mendengar Nara yang susah payah berbicara d sela-sela tangisnya benar-benar terasa payah. Hazel tidak sama sakitnya, tidak ada yang kurang maupun lebih. Gadis itu lantas bangkit lanjut berjalan ke arah jendela dan membukanya, sepoi angina sore menerbangkan anak rambut si gadis yang terurai. Sesekali dilihatnya Nara yang masih setia mempertahankan posisinya.
Lima belas menit sudah berlalu sekarang deru napas gadis itu mulai membaik, dengan sigap Nara bangun dari posisi telungkup. Dia mengusap bekas air mata yang mongering di pipinya, lalu balik menatap Hazel. Gadis itu menegakkan duduk, menepuk-nepuk kasur di sebelahnya sebagai isyarat untuk Hazel supaya mendekat.
"Gue udah gapapa, sekarang gantian lo."
"Gue ga enak---"
"Ga boleh gitu, waktu lo udah kebuang sia-sia gegara gue nangis gak jelas gini."
"Na!" Nara menggenggam tangan Hazel, meyakinkan gadis itu sembari melempar tatapan teduh.
Hazel terdiam sejenak, dia balik menundukan kepala. "Ayah gue dapat proyek dari salah satu perusahaan besar."
"Bagus dong, itu berarti keluarga lo bakal baik-baik aja buat beberapa tahun ke depan," tukas Nara dengan semangatnya.
Hazel menggeleng. "Sayangnya, proyek itu banyak resikonya. Setiap pulang wajah Ayah benar-benar pucet, bukan sekali juga dia pingsan ketika baru masuk rumah. Gue takut, Na. Setiap hari surat peringatan itu bakal ngehantuin keluarga gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT [On Going]
Teen Fiction"Maa ... jangan bakar buku Nara, semua karya Nara ada di sana!" Gadis 16 tahun itu hanya bisa menangis tersedu menyaksikan sekumpulan buku catatan kepunyaannya dilahap si jago merah---dia berteriak seraya berlari ke arah kobaran api yang menyala...