Part 20
Perihal butuh
Aku berhenti dari rasa sakit pula semua tentang usai yang pahit. Menjamu rintik saban malam sampai mata jatuh terkantuk, kalau saja bukan karena tabahnya doa melangit, mungkin sudah lama rubuh menjangkit. Aku tahu, belum saatnya untuk meregangkan keluh, tabah perlu dipupuk sungguh-sungguh. Menjadi manusia memang perihal butuh; ulur tangan selagi layu, kalau kurang bisa ditambah kayu atau saat-saat rehat pandang ada bahu tempat bersandar. Kuat genggam selagi pijak melapuk, banyak yang perlu dari manusia rumpang untuk utuh. Aku menantikan hadirnya kukuh, di saat itu semoga semua dapat lepas tanpa mesti ibu bantu.
@gadisPuisi
"Lo sadar gak, selama latihan Satya gak pernah lepas natap seseorang di bangku penonton sana?" Liam mengarahkan jari telunjuknya ke arah kursi baris keduaa dari belakang, diikuti pandang Aji dan Mahen---mereka tampak menyipitkan mata, beberapa siswi masih mengerubungi tiap tepi lapangan, mencoba mencari sosok yang dimaksudkan tetapi Aji justru mendapati bangku itu telah kosong.
"Gaada siapa-siapa tuh," balas Aji seraya menyambar botol air mineral kemasan dari genggaman Mahen yang sibuk mengusap area awah dengan handuk kecil melinggar di leher. Mahen menganguk mengiakan.
Sekitar sepuluh menit terakhir Satya memang beberapakali tertangkap basah Liam sedang mencuri pandang kea rah sana, Liam berusaha mencari tahu sosok yang dicari Satya dengan mengamati gerik si empu, rupanya bangku pojok baris kedua dari belakang di mana sosok yang menduduki tempat itu adalah seorang gadis berambut sebahu, memiliki mata bulat jernih sembari memegang cup minuman.
"Mungkin udah pulang, toh hari makin petang. Cuma kita yang betah lama-lama di sini."
"Ngecamp sekalian, gak sih?"
"Ide bagus," cetus Mahen. Dia kini memindahkan handuk kecil yang semula melingkar di leher ke bangku kecil, menyampirkannya asal.
Liam meneguk air dari botolnya, kembang-kempis dada cowok itu setelah beberapa jam mengolah tubuh. Tetesan keringat jatuh dari bagian yang mana saja, seketika dia tersenyum malu ketika mendengar namanya disebutkan dua siswi dari pinggir lapangan. Dia balas dengan melambaikan tangan.
"Itu cewek-cewek belum pada belum pulang, ngapain coba?"
"Biasa." Liam tampak menaik turunkan sebelah alisnya, mengejek Mahen dan Aji. Merasa tersaingi, Aji pun membalasnya dengan berdecih sementara Mahen darah tinggi.
"Anjir, si Liam ambil start." Aji menggerutu, balik berjalan ke tumpukan bola sekalian menghampiri Satya yang duduk sembari meluruskan kedua kaki di pojokan, sengaja menjauh dari teman-teman.
"Iri kok nyinyir, saingin dong mampu ga bos?" Sengaja benar Liam memancing Aji
"Jangan lupa slebeww," elak Mahen yang setelahnya tertawa.
"Astagfirulah akhy, ada aset yang mesti ana jaga," balas Aji, cowok itu berjalan ke tempat Satya berada.
Jam menunjukan pukul 17.35 Satya memasukkan kembali jam tangannya ke dalam tas juga barang-barang lain, dengan handuk kecil yang menyelimuti kepala cowok itu tampak membalikkan badan ketika menyadari Aji mendekatinya. Dia melirik sekilas lantas kembali sibuk berkemas, sudah siap menenteng tas, sementara salah satu tangan memegang botol minum cowok itu mulai menggerakkan kakinya menjauh dari lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT [On Going]
Teen Fiction"Maa ... jangan bakar buku Nara, semua karya Nara ada di sana!" Gadis 16 tahun itu hanya bisa menangis tersedu menyaksikan sekumpulan buku catatan kepunyaannya dilahap si jago merah---dia berteriak seraya berlari ke arah kobaran api yang menyala...