Jangan beri tahu Mama

1.7K 175 107
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BAB 1

Jangan Beri Tahu Mama!

Bun, hidup berjalan seperti bajingan
Seperti landak yang tak punya teman
Ia menggonggong bak suara hujan
dan kau pangeranku mengambil peran

Lincah gerak tangannya menuliskan tiap-tiap aksara pada larik polos buku catatan miliknya, dalam satu helaan napas saja sudah penuh tiga baris dengan frasa juga klausa yang berima, menumpahkan segala macam pernak-pernik isi kepala. Makin menjadi-jadi liar temu jemarinya mengukir.

Bun, kalau saat hancur ku disayang. Apalagi saat ku jadi juara, saat tak tahu arah kau di sana.

Menjadi gagah saat ku tak bisa.

Dia berhenti, ujung penanya masih menempel pada kertas putih, padahal tinggal sisa beberapa baris lagi. Tanpa disadari, mulutnya turut menyenandungkan lirik dari lagu yang sudah lebih dari tiga puluh menit diputar tanpa henti. Mengalun merdu di tengah riuh berisik buncahan keluh yang menggelitik.

Katanya, menulis sembari mendengarkan musik dirasa cukup membantu mengatasi jalan buntu. Karena itu, dia semakin mengeraskan volume lagu lantas menyenderkan punggung pada kursi yang didudukinya. Memejamkan kedua mata, berusaha menghayati tiap tangga nada yang tergiang dalam benaknya.

Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu, agar seisi dunia tahu.

Brak!

Dia dikagetkan dengan suara pintu kamar yang dibuka paksa dari luar, dengan terburu menutup buku catatannya pula melepas earphone dari telinga lantas memasukkan kedua benda itu ke dalam laci meja, ganti meraih buku tebal berjudul "ANATOMI" yang terpampang besar pada sampul depan. Ketukan higheels yang beradu dengan lantai menggema di kamar---suara itu terdengar semakin dekat dan berhenti di samping tempat duduknya. Dia membuka perhalaman buku tebal itu dengan amat pelan, bola matanya sampai naik-turun mengikuti bacaan, seolah paham benar---ketahuilah, dia tidak benar-benar membacanya. Hanya gimik dari seorang gadis bernama Nara agar terhindar dari cacian sang mama.

Wanita berbalut pakaian formal dengan tas kecil yang dijinjing di tangan kiri mengelus lembut rambut anak semata wayang, kemudian beralih berjalan pelan ke arah nakas untuk mengambil sisir, kembali menghampiri si gadis dan menyisirkan rambut gadis itu meski di bagian itu-itu saja membuat reaksi ketidaknyamanan dari si empu.

"Kalau gini 'kan enak, nurut sama omongan mama. Pokoknya, tahun depan kamu harus bisa masuk fakultas kedokteran." Wanita itu membungkuk, mendekatkan mulutnya ke telinga kanan si gadis.

"Bagaimanapun caranya." Wanita itu mengucapkan setiap kosa katanya dengan nada pelan dan penuh penekanan, terdengar seperti bisikan tapi berhasil menghujani relung gadis itu selayak belati yang tajam.

Keras kepalaku sama denganmu.

Caraku marah, caraku tersenyum.

Wanita itu menampakkan smirk, dia dapat melihatnya lewat pantulan cermin bundar yang terpasang di seberang, wanita itu kembali meluruskan berdirinya, menggeletakkan sisir di atas meja. Membalikkan badan, Ia berjalan menuju cermin besar di ruangan tampak membenahi pakaian.

BERTAUT [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang