Part 11
Mendung Merundung
"Pada detak yang berjuluk sajak, kehilangan masih jadi warta yang kerapkali dikarangkan, seolah tanpa rampung disajikan dengan macam rupa pula pengantarnya. Sekalipun pelupuk telah bersandang peluk, bukan jarang sesak jadi sebab utama bertautnya klausa dengan tanda baca."
@gadisPuisi
"Hangat ...." Dapat didengar olehnya suara samar yang kerap kali membisingkan telinga, dari cara berbicara bisa ditebak jika sosok itu adalah wanita. Satya masih enggan membuka mata, justru makin menelungkupkan wajahnya pada kedua tangan yang menjadikan sandaran kepala.
Rasa nyaman menyebar dalam tubuhnya, pemuda itu mengangkat kedua tangan ke atas meraba tiap lekuk bentuk wajah yang belum dia sentuh sebelumnya. Kulit sesosok itu terasa halus apabila jemarinya menyentuh, tanpa sadar diapun melengkungkan kedua bibirnya.
"Satya." Pelan dan manis, Satya lagi-lagi lengah dan makin terbuai ke dalam mimpi.
"Sentuhan itu sangat hangat---." Dia terus mengulang kata yang sama, dengan perlahan kedua pupilnya berhasil menyorot pandang teduh yang tengah menundukan kepala itu. Satya membulatkan mata, ganti menoleh kedua tangan juga kaki. Mulutnya hendak berbicara, sayangnya yang keluar justru gumaman bayi usia enam bulan.
"Ada apa dengan tangan dan kaki gue?" Wanita itu mengangkat tubuh mungilnya, lantas mendekatkan wajah memerah bayi di hadapan ke pipi miliknya. Kulit mereka saling bertaut, wajah si bayi yang gembul itu sampai tertekan. Wanita itu tertawa, kembali lubuk hati Satya disiram rasa senang bukan main.
"Anak manis." Satya hanya bisa diam atas perlakuan yang dia dapat dari wanita itu.
"Lagi, lagi ... gue mohon jangan pergi." Jari-jari mungil itu bergerak meraba udara, hendak menjangkau cantik rupawannya paras wanita di depan. Wanita itu mendekatkan wajahnya, membiarkan jari-jari kecil yang bahkan tidak ada separuh dari kepunyaan si wanita menyentuh hidung juga mencubit pipinya.
"Karena kau sudah berhasil memanggilku, hari ini kau berhak mendapat hadiah. Bersiaplah, Satya," ujar wanita itu yang setelahnya menghujani cium pada wajah anaknya tanpa ampun.
Si bayi enam bulan justru tertawa geli, dia balik menyerang ibunya dengan menjilat hidung wanita itu. Tawa mereka mengudara, sinar matahari yang menyorot ke wajah mungil nan menggemaskan Si wanita lantas mengadangkan tangan ke arah Satya membuat wajah wanita itu samar sebab terhalang bayang. Satya melebarkan mulutnya yang terbuka.
Menyenangkan, sesaat Satya hanyut melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya. Kelembutan yang belum pernah dia rasakan, serta kehangatan dari tiap sentuhan dari wanita itu membuatnya merindukan sesuatu. Belum jelas apa itu, sebab dia sendiri merasa asing.
"Satya kau akan tumbuh dewasa dan banyak mengenal kecewa, ada saat-saat kamu ingin berhenti memijakkan kaki, memilih larut dalam rasa sedih. Tidak apa-apa sayang, menjadi tidak baik-baik saja juga bagian dari manusia."
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT [On Going]
Teen Fiction"Maa ... jangan bakar buku Nara, semua karya Nara ada di sana!" Gadis 16 tahun itu hanya bisa menangis tersedu menyaksikan sekumpulan buku catatan kepunyaannya dilahap si jago merah---dia berteriak seraya berlari ke arah kobaran api yang menyala...