Part 23
Gelabah tabah
Ini tentang rumus kefanaan: menjadi sesuatu yang bahkan sukar digelut kadang berujung kalut, terpicut senyap merayap geram. Ada banyak pengajaran yang diperuntukan dalam segala kejadian. Memang "menjadi" itu kadang jauh dari perkiraan, tidak jarang harus merangkak untuk mewujudkan. Tetapi, kata Rintik Sedu,"Jatuh juga bagian dari perjalanan."
@gadisPuisi
Hazel meregangkan tangannya ke atas, berjalan dengan raut wajah kelelahannya gadis itu tampak membenarkan anak rambutnya yang lolos dari kuciran.
"Ngantuk banget gue, semalam habis ngebut baca novel." Tanpa sadar Hazel menguap, buru-buru tangan si gadis bergerak menutupinya. Di samping itu, Nara dengan santainya meminum yogurt kemasan sembari memainkan benda pipih dengan satu tangan. Mereka habis mengunjungi kantin yang letaknya dekat gedung empat, sekarang tengah melintasi kodidor tempat mading sekolah terpajang.
"Gue rekomendasikan banget novel itu ke lo, judulnya Garis Singgung. Beuh ... mantap jiwa dijamin uring-uringan," ujar Hazel dengan antusiasnya bercerita.
"Membayangkan kalau gue berada di posisi karakter utama yang tahu kalau sahabatnya ada main api sama pacar si cewek, pasti nyeseknya gak terkira. Mereka bahkan diam-diam sering jalan bareng di luar pengetahuan karakter utama, cih!"
Nara larut dalam ocehan si gadis, memilih mendengarkan sembari menikmati minumannya. "Jadi itu sebabnya kantung mata lo hitam bulat kayak panda?" Terdengar setelah itu helaan napas panjang dari sebelah, Nara melirik untuk memastikan.
Hazel menggerakkan mulutnya maju, jadilah berpose manyun. "Jangan diungkit lagi dong, gue lagi gak percaya diri, nih. Belakangan jarang ketemu Kak Ares gegara kantung mata sialan ini. Ya, sekalipun dia bakal bilang kalau gue tetep cantik kayak biasanya, tapi gue bakalan resah lo tahu?" Mereka berhenti di depan mading.
Nara menjauhkan mulutnya dari sedotan, kini perhatian gadis itu sepenuhnya fokus pada papan lebar yang berisikan kumpulan karya anak SMA Bakti Nusa termasuk dengan kepunyaan GadisPuisi di sana. "Berarti bener, ya? Cinta itu buta," ujar Nara.
"Apa gue sejelek itu?" tanya Hazel yang mulai mendramatisir keadaan, berlagak menangis gadis itu mendekatkan posisinya dengan Nara. Ikut membaca karya terbaru penulis misterius sekolah, alis Hazel terlihat naik sebelah dan dahinya berkerut.
"Lo pernah kepikiran gak, kalau bisa saja gadisPuisi itu bukan berasal dari siswa Bakti Nusa, tapi guru atau staf yang kerja di sini?" Kali ini ganti dahi Nara yang berkerut, menatap Hazel minta penjelasan.
"Yaa ... habisnya kalimat yang dia pakai menurut gue bukan takarannya anak SMA, mulai dari rima sampai diksi, bener-bener buat pusing. Maknanya pun tergantung dari tiap-tiap kepala yang membaca, gak bisa disamaratakan," tegas Hazel.
"Kalau itu guru, kurang kerjaan banget deh."
"Bisa aja 'kan?" Hazel masih keukeh dengan pendapatnya, sedangkan Nara membalasnya dengan menggedikan bahu kembali dia melihat karya yang disajikan dalam kertas binder polos tanpa bingkai tiap pinggirnya. Biasanya, akan ada hiasan kecil yang terpampang di kertas disesuaikan dengan makna yang dituliskan tampaknya kali ini si penulis terburu, atau mungin tidak butuh.
Nara acuh tak acuh, kembali menyedot minumannya tampak tenang cewek itu berbalik badan menjadikannya berhadapan dengan Hazel. "Oh iya, soalan Bulan Bahasa minggu lalu---" Kalimat Hazel terpotong.
"Minta dong!" Kehadiran seorang pemuda di antara mereka berhasil mengalihkan perhatian keduanya, terlebih dia yang tiba-tiba saja ikut meminum yogurt kepunyaan Nara, sontak saja si gadis terperejat kaget dan berteriak di waktu bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT [On Going]
Teen Fiction"Maa ... jangan bakar buku Nara, semua karya Nara ada di sana!" Gadis 16 tahun itu hanya bisa menangis tersedu menyaksikan sekumpulan buku catatan kepunyaannya dilahap si jago merah---dia berteriak seraya berlari ke arah kobaran api yang menyala...