[CERITA INI SEDANG DIREVISI]
🏆 Nominasi cerita favorite writing challenge lovRinz publisher 2022
🏆 #2 prosa April 2025
📍Start from 2021
Bermula dari sosok misterius di balik nama pena @gadisPuisi yang karyanya selama dua tahun berturut-turut berh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BAB 8
SAMAR
Belajar dalam keadaan perut keroncongan bukan menjadi pilihan yang tepat, sebab pikiran jadi buyar belum lagi hafalan yang semula lancar mendadak kacau. Anya meringis, memegangi perut sembari terkantuk-kantuk, rasa perih mulai mendominasi perutnya disusul bunyi keroncongan menandakan bahwa asam lambung tengah naik. Ia buru-buru meraih segelas air di atas nakas lantas meminumnya hingga tandas. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, segelas air tampak tidak berarti apa-apa perutnya benar-benar menginginkan makanan.
"Tentukan bayangan garis y= 3x-2 oleh T= (-3, 4), duh!" Gadis itu membulatkan mata, sebisanya mengorak-arertas.
Perutnya kembali berteriak, kali ini lebih kencang dibanding kipas angin yang menyala, karena malas beranjak ia memilih tetap melanjutkan pekerjaannya sekalipun rasa perih bercampur nyeri membuat ia acapkali menghela napas panjang, naum pertahanannya tidak bertahan lama. Anya pasrah, buru-buru menyelesaikan tugas kemudian mendorong kasar tempat duduk lanjut berlari menuju dapur.
"Enggak tahan lagi ... g-gue la-aapar!"ujarnnya sambil memegangi perut dan berjalan setenggah membungkuk.
Pintu kamarnya dibiarkan menganga, Anya kocar-kacir mencari sepotong roti atau makanan bentuk apapun yang dapat menenangkan asam lambung. Kulkasnya dua hari ini kosong hanya diisi es dan sayur kering. Anya merintih.
"Gak ada!" Anya menggeledah lemari dapur, meraba-raba isinya. Celingak-celinguk di depan pintu kayu yang terbuka.
Anya menapa kaleng kosong dengan perasaan hampa. "Di sini juga gak ada!" Berakhir dengan luruhnya tubuh ke lantai, dia menghela napas panjang sementara ricuh perut mengelegar, Nara menggeram sebal.
"Cari apa?" Itu suara Mama, dari daun pintu dapur dengan secangkir kopi di tangan. Ia menyeruputnya perlahan, lurus pandangannya mengarah pada Anya yang terduduk di lantai. Gadis itu menoleh, raut wajahnya lesu.
"Mie instan."
"Bukannya sudah habis? Kamu sendiri yang terakhir kali memakannya," ujar wanita itu seraya memposisikan badan duduk pada kursi. Anya mencari pegangan, mencoba berdiri lalu melirik sekilas ke arah ibunya.
"Kalau roti?" Mama menggeleng.
Tampak Nara memutar bola matanya.
"Sama sekali gak ada niatan buat beliin gitu?" Anya membatin, tahu dengan sikap ketidakpekaan sang ibu, dia hanya mampu mengelus dada sambil terus merapal kata sabar.
"Mau ke mana?" Menyadari anak gadisnya berjalan ke luar dapur membuat wanita itu kembali angkat bicara. Ia masih sibuk dengan segelas kopi, sementara tangan satunya menggeser-geser layar ponsel berkali-kali.
"Supermarket."
Anya mengganti alas kakinya, menaikkan penutup jaket ke kepala, membalikkan badan kemudian menggoyang-goyangkan sebuah senter di tangan----meskipun penerangan jalan cukup terang, mengingat rumahnya dekat jalan raya juga jarak supermarket tidak lebih dari dua ratus meter, namun sebagai antisipasi gadis itu membawa senter.