BAB 2
Rumor
"Minggir gak lo!" Tidak habis-habisnya dia berteriak di tengah kerumunan masa di gedung dua. Dengan berat hati melangkahkan kakinya di sepanjang koridor sekolah, belum sampai setengah perjalanan menuju kelasnya XI MIPA 4 dia justru menepikan jalan dan entah yang keberapa kali menghela napas panjang.
"Kaki gue lo injek, anjir!"
Siswi berambut sebahu pun menolehkan kepala. Tampak tergesa-gesa dia berlarian kcil sembari menenteng buku kecil juga pensil menuju kerumunan itu, co-card yang tergantung di lehernya ikut terayun. "Sorry, Sat, gak sengaja."
"Gaada sopan santunnya, ya, gue lihat. Awas lo!"
Kurang lebih satu meter dari tempatnya, segerombolan siswa-siswi berkumpul di depan mading sekolah. Pemandangan ini sudah biasa dia temui setiap pagi, dua tahun berturut-turut mading itu berhasil menempati posisi sebagai tempat paling ricuh setelah kantin sekolah.
"Cuma orang dungu yang mau desak-desakan kayak gitu." Pemuda itu bermonolog, karena semakin ramai orang yang datang, dia memutuskan kembali melanjutkan jalan, tentunya harus bersusah payah terlebih dahulu menerobos keramaian.
Jika biasanya dia akan menarik kerah baju mereka, atau malah mengomel seraya menatap galak pada siswa yang enggan memberi cela, kali ini rupanya dia kalah. Desakan dari belakang juga depan membuat tubuhnya terhimpit dan susah digerakkan, siwa itu mengerang kesakitan ketika kakinya kembali terinjak oleh seseorang yang berada di depan.
"Aww! S-sakit b-bego!" Setelah balas menginjak kaki tersangka, pemuda itu memanfaatkan kelihaiannya bermain taekwondo---menggunakan tenaga dalam untuk menyingkirkan orang-orang dari jalannya, kerumunan yang didominasi oleh siswi itu pun menjauh dengan sendirinya ketika menyadari kehadian cowok tengil di antara mereka. Tanpa sengaja menyenggol bahu salah seorang gadis, barulah dia mendapat cubitan pada pinggang.
"Satya tolol! Ngapain lo di sini, mau ambil kesempatan dalam kesempitan, ya?" Salah satu dari mereka angkat suara.
"Najis! Gue cuma mau lewat, lagian kalian ngehalangi jalan tahu gak!" Puas dengan kalimatnya, pemuda itu cepat-cepat mengambil langkah seribu dari sana, mengabaikan tatapan marah dari para siswi yang telah dia tarik kerah bajunya---mereka terus menatap tajam punggungnya sampai akhirnya menghilang di tikungan.
"Gue udah terlalu lama bersikap bodo amat, kali ini gue harus cari tahu siapa dibalik nama pena itu. Gue harus buat perhitungan sama dia, dua tahun gue nyelip di kerumunan itu tiap paginya. Sialan!"
"Di balik gelap, aku bernapas banyak-banyak.
Di dalam pengap serta lusuhnya ruang dengan hening yang menjadi primadona, aku terbahak.Memeluk tangis beriring riuh isi kepala, aku pasrah. Menelan mentah-mentah setiap lontaran kalimat dusta dari mulut mereka, sekali lagi harus kuterima patah, dan malam menjadi bagian panjang dari hari, adalah biasa."
@gadisPuisi
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT [On Going]
Fiksi Remaja"Maa ... jangan bakar buku Nara, semua karya Nara ada di sana!" Gadis 16 tahun itu hanya bisa menangis tersedu menyaksikan sekumpulan buku catatan kepunyaannya dilahap si jago merah---dia berteriak seraya berlari ke arah kobaran api yang menyala...